Sumber foto: iStock

Ketegangan di Google: Karyawan DeepMind Melawan Penjualan AI ke Israel, Apa yang Terjadi di Balik Pemecatan Massal?

Tanggal: 29 Apr 2025 10:14 wib.
Karyawan Google DeepMind, divisi yang berfokus pada kecerdasan buatan (AI), kini menghadapi tantangan besar dalam menghadapi kebijakan Google yang menjual teknologi AI ke Israel. Langkah ini memicu protes keras dari para pegawai DeepMind yang khawatir tentang implikasi etis dari bisnis Google dengan militer Israel. Dalam upaya untuk melawan kebijakan ini, sekitar 300 pegawai DeepMind dilaporkan telah bergabung dengan Serikat Pekerja Komunikasi (Communication Workers Union - CWU) dalam beberapa minggu terakhir.

Menurut laporan dari Financial Times, keputusan Google untuk menjual teknologi AI kepada grup bisnis pertahanan yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah Israel menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan karyawan, khususnya di DeepMind yang lebih sering berfokus pada penelitian AI untuk kepentingan kemanusiaan. Keputusan ini telah mendorong mereka untuk bersatu dan menuntut perubahan, membentuk serikat pekerja guna memprotes keputusan manajemen yang dianggap tidak etis dan berisiko memperburuk ketegangan politik internasional.

Sejak beberapa waktu lalu, berbagai media melaporkan ketidakpuasan sejumlah karyawan Google terhadap hubungan bisnis yang semakin erat dengan militer Israel. Google diketahui telah menjual layanan cloud dan teknologi AI kepada Kementerian Pertahanan Israel, langkah yang membuat banyak pekerja mempertanyakan integritas perusahaan mereka, terutama terkait penggunaan teknologi tersebut dalam konteks militer.

Pemecatan Massal di Tengah Kontroversi

Protes ini bukan kali pertama terjadi di Google. Sebelumnya, karyawan Google telah melakukan protes terbuka terkait kontrak layanan cloud yang dijalin dengan pemerintah Israel. Aksi tersebut berujung pada pemecatan sejumlah karyawan, dengan alasan bahwa mereka terlibat dalam kegiatan yang dianggap mengganggu kenyamanan kerja. CEO Google, Sundar Pichai, dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa pemecatan tersebut dilakukan karena Google sebagai perusahaan perlu menjaga lingkungan kerja yang kondusif dan menghindari aktivitas yang bisa memicu kerusuhan di dalam kantor.

Namun, pemecatan tidak berhenti hanya pada sejumlah karyawan yang terlibat dalam demonstrasi. Jane Chung, seorang juru bicara dari kelompok aktivis 'No Tech for Apartheid', mengungkapkan bahwa ada gelombang pemecatan baru yang menimpa lebih dari 50 karyawan. Aksi pemecatan ini semakin memunculkan kontroversi, apalagi beberapa dari mereka yang dipecat tidak terlibat langsung dalam demonstrasi tersebut. Chung menilai bahwa kebijakan pemecatan ini adalah cara Google untuk membungkam perbedaan pendapat di antara para pekerjanya.

"Sungguh ironis bahwa banyak di antara mereka yang dipecat justru tidak berpartisipasi dalam demonstrasi," kata Chung kepada Washington Post. "Pemecatan ini lebih menunjukkan bahwa Google ingin menekan perbedaan pendapat dan memperlihatkan kekuasaan mereka atas para pekerja," tambahnya.

Google Menghadapi Tekanan yang Semakin Besar

Sejumlah sumber internal mengonfirmasi kepada Forbes bahwa pemecatan yang terjadi merupakan hasil dari investigasi perusahaan terkait aksi demo yang berlangsung selama 8 jam di dua kantor Google, di Sunnyvale dan New York City. Para karyawan ini memprotes keputusan Google yang dinilai berpihak kepada pemerintah Israel, khususnya terkait pemanfaatan teknologi AI yang dikembangkan Google oleh militer Israel. Mereka khawatir bahwa teknologi ini dapat digunakan dalam serangan militer di Gaza, yang akan memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah sangat kompleks di kawasan tersebut.

Google, melalui juru bicaranya, menegaskan bahwa setiap karyawan yang dipecat terlibat dalam aktivitas yang dianggap disruptif di lingkungan kantor. "Investigasi internal kami terkait insiden ini telah selesai, dan setiap pemecatan didasarkan pada temuan dari investigasi tersebut," ujar juru bicara Google. Ini menandakan bahwa perusahaan besar ini semakin gencar menegakkan kebijakan untuk mempertahankan ketertiban di kantor, meskipun menimbulkan perdebatan yang intens.

Implikasi Etis dan Teknologi dalam Konflik Global

Protes yang muncul di dalam Google juga menyoroti masalah etika yang semakin besar terkait penggunaan teknologi dalam konteks militer dan konflik global. DeepMind, sebagai salah satu pionir dalam pengembangan AI, selalu berfokus pada potensi kecerdasan buatan untuk kemanusiaan, bukan untuk tujuan perang. Oleh karena itu, keputusan untuk menjual teknologi AI ke militer Israel dianggap oleh banyak karyawan sebagai langkah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yang dipegang oleh perusahaan tersebut.

Hal ini menambah ketegangan di dunia teknologi yang semakin terpolarisasi, terutama di tengah persaingan global antara negara-negara besar. Perusahaan teknologi besar seperti Google, Microsoft, dan Amazon sering kali dihadapkan pada pilihan sulit terkait bagaimana mereka menyeimbangkan antara keuntungan bisnis dan tanggung jawab etis mereka. Dalam kasus Google, kemitraan mereka dengan pemerintah Israel bisa mempengaruhi reputasi mereka di mata publik global, terutama di kalangan karyawan yang semakin sadar akan dampak sosial dan politik dari teknologi yang mereka kembangkan.

Masa Depan Hubungan Teknologi dan Etika Perusahaan

Kontroversi ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana perusahaan teknologi seharusnya berperan dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh tantangan. Tidak hanya dari sisi bisnis, tetapi juga dari sisi tanggung jawab sosial dan politik. Apakah Google, dengan semua kemajuan teknologi yang mereka miliki, seharusnya mempertahankan posisi netral atau berkomitmen untuk mendukung tujuan-tujuan yang lebih besar dari sekadar keuntungan?

Tentu saja, ini bukan masalah yang dapat diselesaikan dalam semalam. Namun, apa yang terjadi di dalam Google ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana karyawan dan perusahaan harus berhadapan dengan dilema etis dalam dunia yang penuh ketegangan politik.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved