Sumber foto: iStock

Kerugian Mencapai Rp269 Triliun: Kejahatan Siber Global Makin Ganas, Modusnya Justru Semakin Sederhana

Tanggal: 25 Apr 2025 11:24 wib.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, kejahatan siber justru kian marak dan menjadi ancaman serius secara global. Bukan hanya soal kecanggihan peretasan, yang mengejutkan adalah sebagian besar kerugian yang terjadi justru berasal dari modus kejahatan yang tergolong sederhana dan minim teknologi. Laporan terbaru dari Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) mengungkapkan fakta mengejutkan tentang seberapa besar dampak nyata dari serangan siber terhadap masyarakat dunia.

Menurut laporan tahunan FBI, total kerugian akibat kejahatan siber pada tahun 2024 mencapai angka fantastis, yakni US$16 miliar atau setara dengan sekitar Rp269 triliun. Angka ini melonjak sepertiga dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan bahwa penipuan digital terus tumbuh dalam skala dan kecanggihan.

Yang membuat laporan ini lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa mayoritas kerugian tersebut bukan berasal dari metode peretasan canggih, melainkan dari taktik penipuan yang sederhana namun efektif. Salah satu contoh umum adalah penipuan berkedok investasi, di mana pelaku menyamar sebagai investor profesional dan membujuk korban untuk menanamkan dana mereka ke dalam skema palsu. Para penjahat kerap menggunakan teknik komunikasi persuasif, lengkap dengan data palsu dan narasi meyakinkan, untuk memanipulasi kepercayaan korban.

Selain itu, modus social engineering lainnya juga menjadi momok serius di kalangan perusahaan. Dalam banyak kasus, pegawai terkecoh oleh email palsu yang tampak seperti berasal dari atasan atau departemen keuangan. Email tersebut biasanya berisi permintaan mendesak untuk mentransfer dana ke rekening tertentu, yang ternyata adalah milik para penipu. Kejadian seperti ini bahkan kerap terjadi di perusahaan besar, menunjukkan bahwa kelemahan manusia masih menjadi titik lemah utama dalam keamanan siber.

Modus lain yang menyebabkan kerugian besar adalah penipuan dukungan teknis (technical support scam). Dalam skema ini, pelaku mengaku sebagai teknisi dari perusahaan teknologi ternama dan menghubungi korban dengan alasan memperbaiki perangkat yang katanya terinfeksi virus. Setelah mendapat akses, mereka justru mencuri data penting atau melakukan transfer dana dari akun korban.

Tak kalah ironis adalah penipuan berkedok asmara atau romance scam, yang belakangan ini juga menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam kasus ini, pelaku menjalin hubungan secara online dengan korban, membangun kepercayaan selama berbulan-bulan, lalu mulai meminta uang dengan berbagai alasan. Skema seperti ini biasanya memakan waktu lama namun berdampak sangat besar karena korban kerap mengirimkan uang dalam jumlah besar secara bertahap.

Semua data ini dihimpun oleh Internet Crime Complaint Center (IC3), unit khusus FBI yang menangani laporan terkait kejahatan dunia maya. Selama tahun 2024, IC3 menerima hampir 860.000 laporan insiden siber dari seluruh dunia. Angka ini menjadi salah satu sumber paling komprehensif dalam menggambarkan skala kejahatan digital saat ini.

Namun, FBI juga menyadari bahwa laporan ini kemungkinan masih belum mencakup keseluruhan realitas yang terjadi di lapangan. Banyak kasus tidak dilaporkan, terutama jika menyangkut serangan ransomware terhadap perusahaan besar yang memilih untuk menyelesaikan masalah secara tertutup. Selain itu, penipuan yang terjadi di luar AS juga kadang tidak masuk dalam sistem pelaporan resmi FBI, meskipun sebagian besar laporan yang diterima masih berasal dari dalam negeri.

Yang membuat situasi ini lebih kompleks adalah sifat kejahatan siber yang lintas negara dan sulit dilacak. Para pelaku seringkali menggunakan jaringan internasional, identitas palsu, dan sistem pembayaran digital yang anonim, sehingga sulit diidentifikasi bahkan oleh lembaga penegak hukum sekalipun.

Peningkatan kerugian akibat kejahatan siber ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah, perusahaan, dan individu di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran dan sistem perlindungan siber. Literasi digital menjadi senjata utama dalam menghadapi maraknya penipuan online. Banyak dari korban sebenarnya bisa terhindar dari jebakan jika lebih kritis dalam menerima informasi dan memahami tanda-tanda bahaya sejak awal.

Di sisi lain, perusahaan teknologi dan lembaga penegak hukum dituntut bekerja lebih keras dalam membangun sistem deteksi dini serta memperkuat kerja sama internasional dalam memburu pelaku-pelaku kejahatan siber lintas batas.

Dengan risiko yang terus meningkat dan taktik kejahatan yang semakin cerdas, hanya dengan pendekatan kolektif dan edukasi menyeluruh dunia bisa memperlambat laju kerugian akibat kejahatan digital. Karena meski teknologi terus berkembang, celah untuk eksploitasi akan selalu ada, dan itulah yang harus diwaspadai bersama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved