Kejatuhan Synapse: Rp 1,5 Triliun Dana Nasabah Raib, Korban Menggugat!
Tanggal: 9 Jan 2025 19:14 wib.
Perusahaan fintech Synapse memasuki tahap kebangkrutan pada bulan April 2024 lalu. Akibatnya, sejumlah besar nasabah dilaporkan mengalami kerugian yang besar, diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun. Permasalahan ini bermula dari perselisihan antara Synapse dan Evolve Bank terkait saldo nasabah pada bulan Mei tahun yang sama.
Synapse, perusahaan fintech yang dikenal membantu startup fintech seperti Yotta and Juno dalam menyediakan rekening giro dan kartu debit dengan menghubungkan layanan pemberi pinjaman kecil seperti Evolve. Namun, akhirnya perusahaan ini mematikan akses ke sistem utama untuk memproses transaksi. Hal ini menyebabkan perpindahan klien secara besar-besaran dan pada akhirnya mengakibatkan kebangkrutan Synapse.
Ditemukan bahwa sejumlah besar dana nasabah menghilang, yang mencapai hingga US$96 juta (Rp 1,5 triliun). Kasus ini akhirnya dibawa ke pengadilan, namun keberadaan uang yang hilang belum dapat dipastikan.
Salah satu nasabah, Kayla Morris, harus menanggung kehilangan uang sebesar US$282.153,87 (Rp 4,4 miliar). Dia menyatakan bahwa akunnya terkunci selama enam bulan setelah insiden tersebut terjadi. Namun, harapannya akan mendapatkan kembali uangnya terbukti tidak didukung, karena Evolve Bank hanya akan membayar sebesar US$500 dari jumlah yang hilang.
Hal serupa juga dialami oleh nasabah lainnya seperti Zach Jacobs, yang memiliki tabungan sebesar US$94.468,92 (Rp 1,5 miliar) namun hanya didapatkan pengembalian sebesar US$128,68 (Rp 2 jutaan). Hal ini memicu reaksi dari nasabah lainnya, dan sebuah kelompok bernama Fight For Our Funds terbentuk untuk mencari keadilan. Kelompok ini berhasil mendaftarkan 3.454 orang anggota dengan total dana yang hilang mencapai US$30,4 juta (Rp 483,1 miliar).
Synapse didirikan pada tahun 2014 dan didukung oleh firma modal ventura Andreessen Horowitz. Tujuan pendirian perusahaan ini adalah untuk menjadi perantara bagi perusahaan fintech seperti Juno dan Yotta untuk memberikan layanan perbankan meskipun tidak memiliki izin perbankan.
Sebelum mengalami kebangkrutan, Synapse memiliki kontrak dengan 100 perusahaan fintech yang mengelola sekitar 100 juta konsumen. Namun, ketika mengajukan kebangkrutan, 4 mitra bank kehilangan akses ke sistem kritis yang digunakan untuk mengidentifikasi rekam jejak perusahaan. Akibatnya, konsumen pengguna aplikasi seperti Yotta tidak bisa mengakses uang mereka.
Menurut laporan dari gugatan Troutman Pepper, jumlah dana yang belum ditemukan mencapai antara $65 juta hingga $95 juta dari total $265 juta yang hilang.
Kesemua permasalahan ini dapat memberikan pelajaran berharga bagi perusahaan fintech lainnya, termasuk bagi nasabah dalam memilih layanan fintech yang aman dan terpercaya. Selain itu, regulasi pemerintah terhadap perusahaan fintech dan perlindungan bagi nasabah juga perlu diperketat untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Dalam pengembangan industri fintech di Indonesia, perlindungan terhadap nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diawasi. Regulasi yang lebih ketat dan sinergi antara perusahaan fintech dengan lembaga perbankan perlu terus ditingkatkan untuk melindungi nasabah dari risiko kehilangan dana akibat kebangkrutan perusahaan fintech.
Misalnya, pemerintah dapat memberlakukan peraturan yang mengharuskan perusahaan fintech untuk melakukan penyimpanan dana nasabah dalam rekening yang diawasi oleh otoritas keuangan atau mengharuskan perusahaan fintech untuk memiliki asuransi dana nasabah. Hal ini bisa menjadi langkah preventif untuk melindungi nasabah dari potensi kehilangan dana akibat kebangkrutan perusahaan fintech. Dengan demikian, industri fintech di Indonesia dapat terus tumbuh dan berkembang dengan tetap memperhatikan keamanan dan perlindungan bagi nasabah.
Kesadaran nasabah tentang risiko yang terkait dengan layanan fintech juga perlu ditingkatkan. Pemahaman mengenai peran dan tanggungjawajawab pengguna fintech dalam menjaga dan mengelola dana secara bijak, akan menjadi penting untuk menghindari kasus yang merugikan seperti yang dialami oleh nasabah Synapse.
Perusahaan fintech juga perlu membentuk kebijakan internal yang lebih ketat dalam pengelolaan dana nasabah serta memastikan transparansi operasi mereka. Hal ini akan memperkuat kepercayaan nasabah terhadap perusahaan fintech dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dalam industri tersebut.
Saat ini, industri fintech semakin mendapat perhatian dari masyarakat karena memberikan inovasi layanan keuangan yang lebih cepat dan mudah. Namun, perlindungan terhadap nasabah perlu menjadi fokus utama bagi perusahaan fintech untuk memastikan keberlangsungan dan kepercayaan nasabah dalam jangka panjang.