Sumber foto: Google

Kecerdasan Buatan Makin Canggih, Apakah Masyarakat Indonesia Siap Secara Etika dan Literasi Digital?

Tanggal: 9 Mei 2025 20:49 wib.
Tampang.com | Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari chatbot layanan pelanggan hingga sistem rekomendasi e-commerce, AI kini bukan hanya milik laboratorium riset, tapi juga telah masuk ke dompet digital, ruang kelas, bahkan industri hiburan di Indonesia. Tapi pertanyaannya: apakah masyarakat kita sudah siap, terutama secara etika dan literasi digital?

AI Tumbuh Pesat, Regulasi dan Pemahaman Publik Tertinggal
Menurut laporan McKinsey Global Institute, penerapan AI berpotensi menambah nilai ekonomi sebesar USD 13 triliun secara global pada 2030. Di Indonesia, pemanfaatan AI mulai terlihat dalam sektor keuangan (fraud detection), e-commerce (sistem rekomendasi), dan bahkan pemerintahan (pendeteksi hoaks). Namun di balik pesatnya inovasi, terdapat jurang pemahaman dan kesadaran etis yang lebar di masyarakat.

“AI bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal tanggung jawab moral. Banyak yang pakai teknologi tanpa paham dampaknya,” kata R. Hadinoto, peneliti etika digital dari sebuah universitas swasta di Jakarta.

Risiko di Balik Algoritma: Bias, Privasi, dan Pengawasan
AI bekerja berdasarkan data, dan jika data tersebut bias atau tidak representatif, maka hasilnya bisa diskriminatif. Hal ini telah terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, di mana algoritma tertentu menunjukkan konten yang memperkuat stereotip atau mengesampingkan kelompok tertentu.

Selain itu, sistem pengenalan wajah dan pemantauan berbasis AI yang digunakan di ruang publik menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran privasi.

“Banyak masyarakat tidak sadar bahwa data mereka dikumpulkan dan digunakan tanpa persetujuan eksplisit,” tegas Hadinoto. “Regulasi harus hadir lebih cepat dari teknologinya, bukan sebaliknya.”

Literasi Digital Masih Rendah, Tapi AI Terus Masuk ke Ruang Publik
Meskipun AI berkembang pesat, literasi digital masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Survei oleh Kominfo dan Siberkreasi menunjukkan bahwa hanya sekitar 28% masyarakat Indonesia memahami konsep dasar keamanan digital dan privasi data. Ironisnya, penggunaan teknologi berbasis AI seperti filter wajah, chatbot, dan voice assistant justru meningkat tajam.

“Yang bahaya adalah ketika kita pakai teknologi tapi tidak paham bahwa ada sisi gelapnya,” ujar Dewi, seorang guru SMA di Surabaya yang aktif mengedukasi literasi digital pada siswa. “Siswa saya sering gunakan AI untuk mengerjakan tugas tanpa tahu bahwa itu juga bisa berdampak negatif pada proses belajar.”

Pendidikan Etika Digital Harus Masuk ke Kurikulum
Pemerintah Indonesia telah memasukkan kurikulum informatika di sekolah, tapi belum secara serius membahas etika digital. Padahal, di era AI ini, pendidikan etika digital menjadi sama pentingnya dengan pengetahuan teknis.

“Etika digital harus dimulai sejak dini. Jika tidak, kita hanya melahirkan generasi pengguna teknologi tanpa kesadaran moral,” kata Hadinoto. Ia menambahkan bahwa sekolah dan lembaga pendidikan tinggi perlu membekali siswa dengan wawasan kritis tentang dampak sosial dan etis dari teknologi.

Langkah Strategis Menuju AI yang Bertanggung Jawab
Untuk memastikan teknologi AI bermanfaat secara luas dan tidak menimbulkan ketimpangan, pemerintah dan masyarakat harus bergerak cepat. Beberapa langkah strategis antara lain:



Menyusun regulasi perlindungan data pribadi dan penggunaan AI yang adil dan transparan.


Meningkatkan literasi digital masyarakat melalui media, sekolah, dan pelatihan komunitas.


Membangun transparansi dalam penggunaan algoritma, khususnya di sektor publik.


Mendorong kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi untuk merumuskan pedoman etika penggunaan AI.



“Kalau tidak ada kesadaran dari sekarang, teknologi justru bisa memperdalam kesenjangan digital dan sosial,” tutup Hadinoto.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved