Kecerdasan Buatan dan Kebangkrutan Startup Pendidikan
Tanggal: 14 Nov 2024 18:30 wib.
Kecerdasan Buatan (AI) adalah teknologi yang semakin banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, tak terkecuali para pelajar yang menggunakannya untuk membantu mengerjakan tugas-tugas mereka.
Namun, penggunaan massif AI seperti ChatGPT ini ternyata turut berdampak pada platform-platform bimbingan belajar (bimbel) online, salah satunya adalah Chegg.
Platform Chegg, yang dulunya menjadi pilihan utama para siswa untuk meminta bantuan dalam mengerjakan tugas, kini tampaknya berada di ambang kebangkrutan yang dikabarkan berkaitan erat dengan popularitas ChatGPT milik OpenAI.
Valuasi Chegg diperkirakan hilang mencapai US$14,5 miliar (Rp 229 triliun) karena saham perusahaan edutech ini mengalami penurunan hingga 99 persen dari puncaknya pada tahun 2021.
Selain itu, Chegg juga kehilangan lebih dari setengah juta pelanggan berbayar, dan jumlah karyawan yang telah dirumahkan mencapai seperempat dari total tenaga kerja Chegg, yaitu 441 karyawan.
Menurut laporan dari Wall Street Journal, dengan penurunan pendapatan, analis perdagangan obligasi mulai mengkhawatirkan kemampuan Chegg untuk melunasi utang. Mereka juga meneliti apakah banyaknya siswa yang membatalkan langganan Chegg seiring dengan munculnya model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT.
Chegg yang sebelumnya tumbuh stabil tanpa persaingan yang signifikan, kini dengan cepat kehilangan relevansinya seiring dengan diluncurkannya ChatGPT pada tahun 2022.
ChatGPT, sebuah chatbot AI yang dilatih dengan jumlah besar data dan informasi yang tersedia di internet, dapat memberikan jawaban dalam hitungan detik. Kemudahan dan kecepatan dalam mendapatkan jawaban melalui ChatGPT menjadi alasan mengapa para siswa beralih dari Chegg.
Jonah Tang, seorang mahasiswa MBA, menyatakan bahwa ChatGPT menawarkan keunggulan berupa keterjangkauan, kecepatan, dan kepastian dalam mendapatkan jawaban, tanpa perlu khawatir apakah masalahnya ada atau tidak.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Needham, sebuah bank investasi, menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen mahasiswa berencana untuk menggunakan ChatGPT, sementara hanya 30 persen yang berencana menggunakan Chegg.
Meskipun demikian, para ahli telah memperingatkan bahwa jawaban yang dihasilkan oleh ChatGPT tidak selalu benar karena model bahasa besar ini rentan terhadap halusinasi informasi. Hal ini berarti bahwa jawaban yang diberikan oleh ChatGPT harus selalu diperiksa ulang.
Tidak hanya itu, ada kekhawatiran bahwa model bahasa besar seperti ChatGPT tidak dapat digunakan secara efektif untuk mencari fakta-fakta informatif, karena kecenderungannya memberikan jawaban berdasarkan probabilitas kata atau frasa yang seharusnya membentuk kalimat.
Meskipun demikian, kelemahan yang ada dalam model bahasa besar ini tidak menghentikan perusahaan-perusahaan untuk terus memasarkan AI mereka sebagai tutor pribadi atau asisten penelitian yang dapat memberikan solusi untuk berbagai masalah kompleks, termasuk dalam bidang sains, pengodean, matematika, dan lainnya.
Kebangkrutan Chegg menjadi salah satu contoh nyata bagaimana perkembangan teknologi AI seperti ChatGPT telah mempengaruhi industri pendidikan dan bimbingan belajar online.
Fenomena ini juga mengingatkan kita akan pentingnya memahami dampak dari penggunaan teknologi baru dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Bagaimanapun, perubahan teknologi akan terus berlanjut dan industri-industri terkait harus terus beradaptasi dengan dinamika perkembangan ini. Mengetahui keterbatasan serta potensi dari teknologi AI akan membantu kita untuk dapat mengoptimalkan manfaatnya sambil mengurangi risikonya.