Sumber foto: Google

Kebijakan Baru Joe Biden: Pembatasan Ekspor Chip AI dan Dampaknya pada Indonesia

Tanggal: 17 Jan 2025 20:13 wib.
Tampang.com | Presiden Amerika Serikat Joe Biden memperkenalkan kebijakan baru yang memperketat pembatasan ekspor chip ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Langkah ini tidak hanya menyasar China tetapi juga negara-negara lain yang dianggap tidak termasuk dalam lingkaran sekutu dekat AS.

Kebijakan tersebut memberikan pengecualian hanya kepada sekutu-sekutu utama Amerika, seperti Uni Eropa, Kanada, dan Australia, yang tetap diperbolehkan mengimpor chip dan alat pembuat chip dari AS tanpa batasan.

Sistem Peringkat Ekspor AI
Dalam kebijakan baru ini, AS menggunakan sistem peringkat tiga kelompok (tiers) untuk menentukan negara-negara yang dapat mengakses perangkat keras berbasis kecerdasan buatan (AI) dari AS.



Tier 1: Negara-negara dalam kelompok ini, seperti Uni Eropa, Kanada, dan Australia, dapat melanjutkan impor perangkat keras AI tanpa pembatasan. Hubungan diplomatik yang erat menjadi faktor utama mengapa negara-negara ini mendapatkan akses penuh.


Tier 2: Negara-negara yang masuk dalam Tier 2, termasuk Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara, akan menghadapi pembatasan. Salah satu aturan utamanya adalah jumlah maksimum perangkat keras, seperti GPU (unit pemrosesan grafis), yang dapat diimpor. Batasannya adalah hingga 50.000 unit GPU per negara untuk periode antara tahun 2025 hingga 2027.


Tier 3: Negara-negara di kelompok ini, seperti China, Rusia, Iran, Korea Utara, dan Kamboja, dilarang total untuk mengimpor perangkat keras dan teknologi terkait AI. Kelompok ini dianggap memiliki risiko geopolitik yang signifikan terhadap kepentingan keamanan nasional AS.



Protes dari Pelaku Industri Semikonduktor
Kebijakan ini menuai protes dari berbagai pihak, terutama pelaku industri semikonduktor dan manufaktur di AS. Kelompok-kelompok seperti Asosiasi Industri Semikonduktor dan SEMI, yang mewakili pengusaha manufaktur chip, menyampaikan keberatannya melalui surat resmi kepada Presiden Biden pada 13 Januari 2025. Dalam surat tersebut, mereka menyoroti dampak negatif dari aturan baru ini terhadap industri teknologi AS.

Mereka mengkhawatirkan bahwa pembatasan ekspor akan mengurangi pangsa pasar perusahaan-perusahaan Amerika, memberikan peluang kepada pesaing global untuk mengambil alih posisi mereka. Salah satu komponen penting yang terkena dampak adalah memori bandwidth tinggi, yang merupakan bahan utama dalam pembuatan chip AI canggih. Saat ini, komponen tersebut banyak diproduksi oleh perusahaan di AS dan Korea Selatan.

Pelaku industri juga menyayangkan kurangnya keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menekankan bahwa kebijakan ini dibuat tanpa konsultasi dengan para ahli industri atau memberikan kesempatan untuk komentar publik, meskipun dampaknya signifikan terhadap ekonomi dan hubungan internasional dalam jangka panjang.

Dampak pada Indonesia dan Dunia Internasional
Masuknya Indonesia dalam kelompok Tier 2 menunjukkan bahwa negara ini memiliki akses terbatas terhadap teknologi chip canggih dari AS. Batasan ini dapat memengaruhi kemampuan Indonesia untuk bersaing dalam pengembangan teknologi berbasis AI, yang semakin penting dalam era digitalisasi global.

Namun, negara-negara di Asia Tenggara yang tidak masuk dalam daftar pembatasan, seperti Kamboja, justru diidentifikasi dalam kelompok Tier 3, bersama negara-negara yang dianggap memiliki risiko geopolitik tinggi seperti China dan Rusia.

Hal ini memperlihatkan bagaimana AS menggunakan kebijakan perdagangan teknologi sebagai alat untuk mempertahankan dominasinya di bidang AI.

AS Bertekad Mempertahankan Kepemimpinan AI
Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memastikan posisi Amerika Serikat sebagai pemimpin di industri AI. Raimondo menekankan bahwa pengembangan teknologi dan desain chip AI adalah aspek krusial yang perlu dijaga agar AS tetap berada di garis depan inovasi global.

"Amerika Serikat saat ini memimpin dalam pengembangan dan desain chip AI. Sangat penting bagi kami untuk mempertahankan posisi ini," kata Raimondo.

Meskipun demikian, kritik terhadap kebijakan ini terus bergulir. Banyak pihak menilai bahwa langkah ini lebih condong melindungi kepentingan domestik AS daripada mempertimbangkan dampak global, termasuk terhadap sekutu-sekutu strategis di wilayah Asia.

Tantangan dan Prospek ke Depan
Pembatasan ekspor chip ini membawa tantangan besar bagi negara-negara yang terkena dampak, termasuk Indonesia. Keterbatasan akses terhadap teknologi mutakhir dapat memperlambat laju inovasi dan transformasi digital di kawasan.

Di sisi lain, kebijakan ini juga memaksa negara-negara tersebut untuk mencari alternatif lain, seperti mengembangkan teknologi lokal atau menjalin kerja sama dengan negara-negara yang bukan sekutu AS.

Bagi AS, kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk menjaga dominasi teknologi mereka, tetapi juga berisiko memperburuk hubungan dagang dengan negara-negara yang terdampak. Jika tidak diimbangi dengan pendekatan diplomatik yang bijaksana, kebijakan ini bisa memicu ketegangan geopolitik yang lebih luas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved