Sumber foto: iStock

Karyawan Microsoft Dipecat Gara-Gara Protes Soal Israel, Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Panggung Ulang Tahun Perusahaan?

Tanggal: 10 Apr 2025 20:21 wib.
Sebuah insiden kontroversial mengguncang perayaan ulang tahun ke-50 Microsoft yang baru saja digelar di kantor pusatnya di Redmond, Seattle. Dua karyawan perusahaan teknologi raksasa itu resmi dipecat usai melakukan aksi protes yang berkaitan dengan konflik antara Israel dan Palestina. Peristiwa ini memicu perdebatan luas mengenai kebebasan berekspresi di lingkungan kerja teknologi, etika bisnis, hingga keberpihakan perusahaan terhadap isu-isu kemanusiaan.

Salah satu karyawan yang dipecat adalah Ibtihal Aboussad, yang melakukan aksinya saat acara berlangsung pada Jumat lalu. Aboussad diketahui secara langsung menyela pidato CEO divisi AI Microsoft, Mustafa Suleyman, dan menudingnya sebagai sosok yang “mendapat keuntungan dari perang.” Ia juga mendesak Microsoft untuk menghentikan penggunaan kecerdasan buatan dalam cara-cara yang menurutnya dapat berkontribusi pada praktik genosida.

Dalam surat pemecatan resmi yang dikirimkan Microsoft Kanada dan dikutip dari The Verge, perusahaan menyatakan bahwa tindakan Aboussad telah melanggar kode etik perusahaan. Ia dinilai mencari perhatian secara tidak pantas, mengganggu jalannya acara, serta menyampaikan tuduhan yang dianggap tidak berdasar kepada CEO dan perusahaan secara keseluruhan.

“Pada hari itu, Anda menyela pidato CEO AI kami, Mustafa Suleyman, di depan ribuan peserta, lalu secara lantang menyampaikan tuduhan serius yang mencemarkan nama baik CEO, Microsoft, dan acara kami secara keseluruhan,” tulis Microsoft dalam email pemecatannya.

Meskipun Suleyman dilaporkan tetap tenang dan mencoba meredam situasi, aksi Aboussad digambarkan sebagai tindakan yang agresif, sehingga membuatnya harus dikawal keluar oleh petugas keamanan yang berjaga.

Perusahaan juga menilai bahwa Aboussad belum menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf atau bertanggung jawab atas tindakannya. "Sikap Anda yang belum mengajukan permintaan maaf dan tidak menunjukkan penyesalan atas dampak dari tindakan Anda sangat mengkhawatirkan," lanjut isi email tersebut.

Tak hanya Aboussad, karyawan lain bernama Vaniya Agrawal juga turut melakukan protes serupa dalam acara ulang tahun perusahaan di hari yang berbeda. Dalam aksinya, Agrawal menyampaikan protesnya langsung di hadapan tokoh-tokoh penting seperti pendiri Microsoft Bill Gates, mantan CEO Steve Ballmer, dan CEO saat ini Satya Nadella.

Kedua karyawan tersebut juga dilaporkan telah mengirimkan email terbuka kepada ribuan rekan kerja di internal Microsoft, menyerukan agar perusahaan memutus kontrak dengan pemerintah Israel. Isi pesan mereka mengajak karyawan lain untuk mempertanyakan arah dan etika kerja sama yang dijalin Microsoft, terutama yang berkaitan dengan teknologi AI dan kemungkinan penerapannya di sektor militer.

Aksi ini menjadi bagian dari gelombang protes internal yang mulai bermunculan di perusahaan-perusahaan teknologi besar di tengah konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Para aktivis dan pekerja teknologi semakin vokal dalam menyerukan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap dampak penggunaan teknologi, khususnya dalam konteks perang dan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, respons dari Microsoft memperlihatkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran etika kerja yang dianggap mengganggu operasional dan reputasi perusahaan. Microsoft menyatakan bahwa protes tersebut tidak dilakukan melalui saluran internal yang semestinya dan melanggar batas-batas profesionalisme.

Langkah pemecatan ini menuai reaksi beragam dari publik. Di satu sisi, ada pihak yang menganggap bahwa tindakan tegas Microsoft sudah tepat karena menjaga ketertiban dan reputasi perusahaan. Namun di sisi lain, sejumlah komunitas pekerja teknologi menilai pemecatan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara-suara yang menentang kebijakan perusahaan yang tidak etis.

Banyak yang menilai bahwa peristiwa ini seharusnya menjadi cermin reflektif bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar dalam memperlakukan aspirasi dan kekhawatiran karyawannya. Dalam era di mana AI dan teknologi canggih semakin terlibat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk konflik bersenjata, suara-suara kritis dari internal perusahaan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Microsoft sendiri selama ini dikenal sebagai perusahaan yang terbuka terhadap keberagaman dan menyuarakan prinsip-prinsip etis dalam pengembangan teknologi. Namun, kasus ini menunjukkan adanya batasan dalam mengekspresikan pendapat, terutama jika dilakukan secara terbuka dan mengganggu operasional resmi perusahaan.

Ke depannya, banyak pihak menantikan bagaimana Microsoft dan perusahaan teknologi lainnya akan merespons isu-isu serupa. Apakah akan ada ruang dialog yang lebih terbuka? Atau justru makin diperketat agar tidak menimbulkan “keributan” publik?

Yang pasti, pemecatan Aboussad dan Agrawal bukan sekadar soal disiplin kerja. Ini menyentuh persoalan lebih besar: di mana batas antara kebebasan berekspresi, etika kerja, dan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan teknologi global?

Peristiwa ini menjadi sinyal bahwa tensi antara etika, bisnis, dan teknologi akan terus menjadi perbincangan serius dalam beberapa tahun ke depan. Dan bagi Microsoft—sebagai salah satu pemimpin di dunia teknologi—tindakan mereka akan selalu menjadi sorotan utama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved