Sumber foto: iStock

iPhone Terancam Kena Pajak 25% di AS, Pabrik Apple di China Rontok: Apa Strategi Baru Apple?

Tanggal: 28 Mei 2025 11:27 wib.
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas dan kali ini menargetkan salah satu raksasa teknologi dunia: Apple. Senin, 26 Mei 2025, menjadi hari yang berat bagi sejumlah perusahaan pemasok Apple yang terdaftar di bursa saham China. Pasalnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana pemberlakuan tarif impor baru sebesar 25% untuk produk iPhone yang dijual di Amerika namun tidak diproduksi di wilayah negara tersebut.

Langkah kebijakan ini langsung memicu reaksi negatif di pasar saham. Saham Luxshare, perusahaan yang dikenal sebagai perakit utama iPhone dan AirPods, anjlok sebesar 2,2%. Perusahaan pembuat layar iPhone, Lens Technology, juga tak luput dari tekanan, dengan sahamnya turun 1,8%. Bahkan Goertek, pabrik pembuat AirPods, turut merasakan dampaknya dengan koreksi harga saham sebesar 1,1%, menurut laporan dari Reuters pada Selasa (27/5/2025).

Pernyataan Trump pada Jumat (23/5) lalu cukup tegas. Ia menyampaikan bahwa semua perangkat iPhone yang dijual di AS, namun diproduksi di luar negeri, akan dikenai tarif impor sebesar 25%. Ancaman ini bukan hanya tertuju pada Apple saja, namun juga seluruh perusahaan produsen smartphone yang mengekspor produknya ke AS tanpa memiliki fasilitas produksi di sana.

Trump menyebutkan bahwa kebijakan tarif ini merupakan bagian dari strategi besar untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri Amerika. Selama ini, Apple telah menjadi sorotan utama karena sebagian besar proses produksi iPhone dilakukan di China, meski perusahaan tersebut telah mengumumkan rencana untuk merelokasi sebagian kegiatan produksinya ke India.

Namun tampaknya, upaya Apple belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi Trump. Ia menginginkan agar proses produksi iPhone dilakukan sepenuhnya di dalam negeri. Tak heran, langkah pemindahan manufaktur dari China ke India pun belum cukup meyakinkan sang presiden.

Sebenarnya, Apple sempat mendapatkan ruang napas saat tarif tinggi sebesar 145% untuk berbagai produk elektronik dari China ditangguhkan sementara selama 90 hari. Penangguhan ini merupakan hasil kesepakatan dagang antara AS dan China yang dicapai di Jenewa, Swiss. Namun, jeda tersebut tidak berlangsung lama. Kali ini, Trump secara eksplisit menargetkan industri perangkat elektronik, termasuk Apple, dengan tarif baru yang lebih terfokus.

Dampak dari ancaman tarif ini tidak hanya mengganggu stabilitas saham para pemasok Apple di China, namun juga menimbulkan keresahan di internal perusahaan. Apple kini harus berpacu dengan waktu untuk menyusun strategi baru agar tidak kehilangan pasar utamanya di Amerika Serikat.

Seperti diketahui, Apple sebelumnya telah menyusun rencana untuk mempercepat pemindahan produksi iPhone dari China ke India dengan target operasional penuh pada tahun 2026. Akan tetapi, dengan ancaman tarif terbaru dari Trump, perusahaan berbasis di Cupertino ini harus mempertimbangkan opsi lain, termasuk membuka fasilitas produksi di Amerika.

Trump menegaskan bahwa Apple diperbolehkan untuk memindahkan fasilitas produksi ke India. Namun jika produk tersebut kemudian dijual di AS, maka tetap akan dikenakan tarif impor 25%. Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk menghindari beban tarif tersebut adalah memproduksi iPhone langsung di dalam negeri AS.

Situasi ini mencerminkan kompleksitas dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global saat ini. Apple berada di persimpangan antara efisiensi biaya produksi di Asia dan tekanan kebijakan proteksionis dari pemerintah AS. Perusahaan harus berhati-hati dalam mengambil langkah ke depan, karena setiap keputusan akan mempengaruhi tidak hanya rantai pasok global mereka, tetapi juga harga jual produk di pasar, margin keuntungan, dan citra perusahaan di mata publik serta investor.

Di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak luas pada lanskap industri teknologi global. Banyak produsen ponsel dan perangkat elektronik lain yang selama ini mengandalkan China sebagai basis produksi utama mereka juga bisa ikut terkena imbas. Jika tren tarif tinggi terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan terjadi pergeseran besar-besaran dalam lokasi manufaktur global, dari China ke negara-negara seperti India, Vietnam, bahkan mungkin AS sendiri.

Namun, yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah: apakah Apple akan berani mengambil risiko investasi besar-besaran untuk membangun fasilitas produksi di AS, atau akan memilih tetap beroperasi di Asia dengan konsekuensi harga jual produk yang lebih mahal di pasar domestik Amerika?

Kebijakan tarif Trump bisa jadi akan mendorong harga iPhone melonjak signifikan di pasar AS, bahkan bisa menembus angka fantastis hingga Rp 56 juta. Jika itu terjadi, konsumen kemungkinan akan mencari alternatif yang lebih terjangkau. Ini tentu menjadi dilema besar bagi Apple, yang selama ini dikenal dengan strategi harga premium dan citra eksklusif.

Apapun keputusan Apple nanti, jelas bahwa mereka sedang menghadapi tantangan besar yang akan menentukan arah perusahaan untuk beberapa tahun ke depan. Tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga dari aspek strategi global, hubungan diplomatik, dan adaptasi terhadap perubahan kebijakan internasional.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved