iPhone Terancam? Ekspor Smartphone China ke AS Anjlok 72%, Ini Dampak Nyata Tarif Trump dan Strategi Apple
Tanggal: 25 Mei 2025 21:35 wib.
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali menjadi sorotan setelah data terbaru menunjukkan penurunan drastis dalam ekspor smartphone dari Negeri Tirai Bambu ke Negeri Paman Sam. Angka ekspor yang mencakup perangkat iPhone buatan Apple tercatat anjlok hingga 72% selama bulan lalu, menyusut menjadi di bawah US$700 juta atau sekitar Rp11 triliun. Ini menjadi titik terendah dalam lebih dari satu dekade terakhir dan menandai dampak nyata dari ketegangan geopolitik yang berlangsung lama.
Laporan dari Bloomberg, yang mengutip data bea cukai China pada Selasa, 20 Mei 2025, menyebutkan bahwa penurunan tersebut jauh lebih besar dibandingkan penurunan total ekspor barang China ke AS secara keseluruhan, yang hanya mencapai 24%. Fakta ini memperkuat bukti bahwa sektor teknologi, khususnya smartphone, menjadi salah satu sektor paling rentan terhadap dinamika perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini.
Efek Tarif Tinggi AS Bikin Rantai Pasok Terpukul
Salah satu penyebab utama penurunan ini adalah kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, yang mengenakan bea masuk hingga 145% untuk barang-barang impor dari China. Meskipun saat ini kebijakan tersebut tengah ditangguhkan selama 90 hari sebagai hasil perundingan di Jenewa, Swiss, dampaknya sudah telanjur terasa di berbagai sektor industri, khususnya di sektor elektronik dan teknologi.
China selama ini berperan sebagai pusat manufaktur global, termasuk untuk merek-merek besar seperti Apple. Tak kurang dari 90% rantai pasokan Apple bergantung pada fasilitas produksi di China. Namun, sejak memanasnya perang dagang beberapa tahun terakhir, Apple mulai mengambil langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan tersebut.
Apple Alihkan Produksi: India, Vietnam, dan Thailand Jadi Alternatif
Menanggapi ketidakpastian geopolitik yang terus berlangsung, Apple secara perlahan mulai memindahkan sebagian fasilitas produksinya ke negara lain. India menjadi pilihan utama dan kini telah menjadi basis produksi iPhone terbesar kedua setelah China. Selain India, Apple juga menggandeng Vietnam dan Thailand sebagai lokasi alternatif untuk menjaga stabilitas produksi global.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Diversifikasi lokasi produksi dinilai sebagai strategi krusial untuk menghindari risiko geopolitik, gangguan rantai pasok, serta tekanan tarif yang tidak menentu. Bahkan, data bea cukai mencatat peningkatan ekspor komponen smartphone dari China ke India naik hampir empat kali lipat dibandingkan tahun lalu. Ini mencerminkan betapa seriusnya Apple dalam memindahkan pusat produksinya ke luar China.
Titik Terendah Sejak 2011: Sinyal Bahaya Industri Smartphone?
Penurunan ekspor smartphone China ke AS pada bulan lalu bukanlah angka sembarangan. Ini merupakan level terendah sejak April 2011—suatu masa ketika smartphone belum mendominasi kehidupan modern seperti saat ini. Banyak analis memandang tren ini sebagai peringatan keras bagi industri teknologi, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang menggantungkan nasibnya pada produksi lintas negara.
Tak hanya merugikan China sebagai produsen, penurunan ini juga dapat mengganggu ekosistem teknologi secara global. Amerika Serikat, yang mengandalkan produk-produk teknologi dari Asia Timur, kini harus berpikir ulang tentang ketergantungannya pada negara-negara tertentu dalam rantai pasokan.
Ketegangan Belum Usai: Sanksi Baru dan Ancaman Lanjutan
Meskipun perjanjian di Jenewa telah memberi jeda 90 hari dalam pemberlakuan tarif tinggi, tensi antara AS dan China belum sepenuhnya mereda. Pemerintah China baru-baru ini menuduh AS melanggar kesepakatan dengan kembali menjatuhkan sanksi, kali ini kepada perusahaan-perusahaan yang menggunakan chip AI buatan Huawei.
Langkah ini menambah daftar panjang konflik dagang yang melibatkan sektor teknologi, yang sebelumnya juga menyentuh produk-produk lain seperti laptop dan baterai lithium-ion. Padahal, tiga produk inilah yang selama ini menjadi andalan ekspor China ke AS.
Di sisi lain, ekspor utama AS ke China justru berasal dari sektor energi dan pertanian, seperti gas cair, minyak mentah, kacang kedelai, dan alat pembuat semikonduktor. Ketidakseimbangan ini turut memperkeruh hubungan perdagangan kedua negara.
Trump Kritik Produksi di Luar Negeri: Realistis atau Sekadar Wacana?
Kebijakan relokasi produksi Apple ke negara-negara Asia Tenggara rupanya juga mendapat sorotan dari Donald Trump. Ia secara terbuka mengkritik langkah tersebut dan mendorong Apple untuk membawa kembali produksi iPhone ke tanah Amerika. Namun, banyak pakar menilai hal itu sulit diwujudkan.
Produksi iPhone di AS akan membutuhkan investasi masif dalam infrastruktur, sumber daya manusia, dan teknologi manufaktur yang belum siap secara menyeluruh. Selain itu, selama ini iPhone memang belum pernah diproduksi secara penuh di Amerika, menjadikan wacana Trump sebagai sesuatu yang ambisius tapi tidak praktis dalam jangka pendek.