Sumber foto: iStock

iPhone Diburu Sebelum Mahal: Bagaimana Ancaman Tarif Trump Membuat Konsumen Panik dan Apple Ketiban Untung?

Tanggal: 10 Apr 2025 20:13 wib.
Ancaman kebijakan tarif besar-besaran dari pemerintahan Donald Trump terhadap produk impor asal China kembali mengguncang pasar global, dan salah satu perusahaan yang paling terdampak adalah Apple Inc. Meski harga saham Apple sempat anjlok tajam akibat sentimen ini, ada sisi lain yang justru menguntungkan raksasa teknologi tersebut dalam jangka pendek: lonjakan minat beli iPhone oleh konsumen yang panik akan potensi kenaikan harga.

Menurut laporan Bloomberg, toko-toko ritel Apple di berbagai wilayah Amerika Serikat mengalami lonjakan pengunjung selama akhir pekan. Para pembeli berbondong-bondong datang karena khawatir harga iPhone akan segera naik setelah tarif baru diberlakukan. Salah satu karyawan Apple, yang tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa hampir semua pelanggan bertanya soal kemungkinan kenaikan harga iPhone. Kondisi ini menciptakan suasana yang menyerupai musim belanja liburan—padahal momen ini seharusnya merupakan masa sepi penjualan karena iPhone model baru biasanya dirilis pada bulan September.

Sebagaimana diketahui, sebagian besar iPhone diproduksi di China, negara yang akan dikenai tarif sebesar 54% dalam kebijakan perdagangan baru Trump. Tarif tersebut merupakan bagian dari langkah proteksionis terhadap produk luar negeri yang dikhawatirkan menggerus manufaktur domestik AS. Tak hanya iPhone, produk lain seperti Apple Watch, Mac, AirPods, dan iPad juga terkena dampak karena mayoritas produksinya masih berada di China, meskipun beberapa model telah dialihkan ke Irlandia, Thailand, Malaysia, dan India.

Lonjakan permintaan ini memberikan dorongan penjualan yang signifikan bagi Apple menjelang pengumuman laporan keuangan kuartal kedua yang dijadwalkan pada 1 Mei. CEO Apple Tim Cook dan CFO Kevan Parekh diperkirakan akan membahas dampak tarif dalam laporan tersebut. Namun hingga kini, Apple masih belum memberikan panduan resmi kepada tim ritel terkait cara menjawab kekhawatiran pelanggan tentang harga.

Data internal menunjukkan bahwa penjualan toko-toko Apple di beberapa pasar utama meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meskipun juru bicara Apple menolak untuk memberikan komentar resmi, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa ketakutan publik terhadap tarif justru mendorong mereka untuk membeli lebih cepat.

Salah satu pelanggan yang ikut membeli iPhone dalam suasana ini adalah Ambar De Elia, seorang warga Buenos Aires yang sedang mengunjungi New York. Ia sudah berniat membeli iPhone 15 untuk adiknya, namun setelah membaca berita tentang pasar saham dan kemungkinan harga naik, ia memutuskan untuk segera berbelanja. “Kalau ada kemungkinan mendapatkan harga lebih murah sekarang, tentu saya ambil kesempatan itu,” ujarnya.

Para analis memperkirakan bahwa tarif baru ini dapat membuat harga iPhone naik drastis, bahkan bisa menyentuh angka ribuan dolar AS per unit. Namun, menurut Bloomberg, Apple kemungkinan akan melakukan berbagai langkah strategis agar harga tidak melonjak secara signifikan. Strategi tersebut meliputi negosiasi ulang dengan pemasok dan pengurangan margin keuntungan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Apple sebelumnya, di mana harga dasar iPhone tetap berada di angka US$999 sejak tahun 2017.

Untuk menghadapi ancaman jangka panjang, Apple telah mengambil sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah mengalihkan sebagian produksi ke India dan Vietnam—negara-negara yang terkena tarif lebih rendah dibandingkan China. Bloomberg mencatat bahwa perangkat yang dibuat di India kini mulai diarahkan ke pasar AS guna mengurangi beban pajak. Selain itu, Apple juga diketahui telah menimbun stok produk untuk memenuhi lonjakan permintaan jangka pendek, sebelum efek tarif benar-benar terasa di kuartal-kuartal mendatang.

Meski demikian, pasar saham tetap bereaksi negatif. Dalam dua hari perdagangan terakhir minggu lalu, valuasi Apple anjlok hingga lebih dari setengah triliun dolar AS. Ini menjadi salah satu penurunan saham paling tajam sejak era gelembung dot-com pada awal tahun 2000-an.

Namun bagi sebagian pihak, peningkatan permintaan saat ini bisa menjadi peluang untuk mendongkrak hasil kuartal ketiga, yang akan berakhir pada bulan Juni. Karena Apple menjual iPhone dari inventaris yang telah dikumpulkan sebelumnya, dampak tarif yang sebenarnya kemungkinan baru akan terasa di kuartal berikutnya—kecuali jika lonjakan permintaan terus berlanjut akibat ketidakpastian harga di pasar.

Kondisi ini mencerminkan bagaimana kebijakan perdagangan internasional dapat memberikan dampak ganda—di satu sisi memukul saham dan rantai pasok, tapi di sisi lain memicu reaksi konsumen yang justru menguntungkan dari sisi penjualan. Apple kini berada di tengah badai kebijakan global yang menguji fleksibilitas dan kekuatan rantai pasoknya, serta kepercayaan konsumen terhadap brand yang selama ini dikenal inovatif dan premium.

Satu hal yang pasti, dinamika yang terjadi saat ini tidak hanya berpengaruh terhadap Apple secara langsung, tetapi juga terhadap pola belanja masyarakat global. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik, perilaku konsumen menunjukkan bahwa rasa takut kehilangan lebih besar dari rasa ingin menunggu—dan Apple, dengan seluruh kekuatan mereknya, berada di titik paling strategis untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved