Sumber foto: iStock

Internet Ngebut 100 Mbps Cuma Rp 100 Ribu? Ini Rencana Pemerintah!

Tanggal: 1 Mar 2025 18:02 wib.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah merancang program untuk menyediakan akses internet cepat dengan kecepatan hingga 100 Mbps, yang ditawarkan dengan tarif syarat yang cukup terjangkau, berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per bulan. Langkah ini diharapkan bisa menjadi solusi untuk meningkatkan akses internet di seluruh wilayah Indonesia, terutama bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi terbatas.

Benny Elian, Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi, menjelaskan bagaimana cara pencapaian ini dapat terwujud. Salah satu metode yang akan digunakan adalah dengan menyediakan frekuensi baru di angka 1,4 Ghz khusus untuk Broadband Wireless Access (BWA).

Bila saat ini tarif internet untuk kecepatan 100 Mbps mencapai Rp 400-500 ribu per bulan, adanya program ini diharapkan bisa memberikan alternatif yang jauh lebih terjangkau. Bahkan, untuk paket internet dengan kecepatan 30 Mbps, harga langganan saat ini bisa mencapai Rp 250 ribu per bulan. Oleh karena itu, usaha penurunan tarif ini adalah langkah strategis untuk menjangkau lebih banyak pengguna.

Tujuan frekuensi 1,4 Ghz ini adalah meningkatkan penetrasi fixed broadband, termasuk di dalamnya bukan hanya pengguna yang mengandalkan sambungan fiber optic, tetapi juga para pengguna statis yang memanfaatkan modem di rumah.

Penggunaan modem ini diharapkan bisa menjawab kebutuhan masyarakat yang mengalami kendala dalam mengakses internet di daerah-daerah tertentu. Dengan kebijakan ini, pemerintah tidak hanya berusaha untuk menyediakan akses internet yang lebih baik, namun juga berupaya untuk membuatnya lebih terjangkau bagi masyarakat.

"Bagaimana menyasar masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, yaitu dengan tarif yang wajar antara Rp 100 hingga 150 ribu," imbuh Benny, menekankan pentingnya program ini bagi komunitas yang lebih luas.

Dari sini, terjawab pula pertanyaan mengenai inklusi digital yang selama ini menjadi tantangan di Indonesia. Dengan memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah ini, diharapkan masyarakat dapat lebih mudah mengakses informasi dan layanan digital.

Jaringan 1,4 Ghz ini akan menggunakan teknologi yang sama dengan jaringan seluler, yakni IMT. Namun, fokus dari pengembangan ini adalah untuk layanan Fixed Broadband, berbeda dari penggunaan layanan untuk perangkat seluler seperti smartphone. Benny juga menjelaskan bahwa perangkat yang dimaksud adalah modem atau router yang dikhususkan untuk penggunaan di rumah, bukan perangkat telepon seluler yang biasa digunakan sehari-hari.

Proses untuk mendapatkan izin pemanfaatan frekuensi 1,4 Ghz direncanakan akan dilakukan melalui mekanisme seleksi. Menurut informasi terkini, diketahui bahwa 7 dari 10 penyelenggara jaringan telah menyatakan minat untuk berpartisipasi dalam program ini.

Meskipun Benny tidak merinci nama penyelenggara tersebut, ada yang berasal dari sektor seluler serta penyelenggara layanan fiber optic. Ia menegaskan, hal ini adalah langkah signifikan ke arah tersedianya jaringan yang lebih berkualitas dan terjangkau.

Rencana lelang frekuensi ini dijadwalkan berlangsung pada semester pertama tahun ini. Setelah itu, pemerintah juga merencanakan lelang untuk frekuensi lain, seperti 700 Mhz, 26 Ghz, dan 2,6 Ghz, yang diyakini akan terus mendongkrak konektivitas internet di Indonesia.

Sigit Puspito, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), memberikan pandangannya bahwa jaringan 1,4 Ghz seharusnya menjadi solusi utama untuk kebutuhan broadband di tanah air. Dia menekankan pentingnya agar pemenang lelang dapat mempertahankan kecepatan hingga 100 Mbps. Jika tidak, hal ini dikhawatirkan akan merugikan sektor seluler.

"Pemenang jaringan 1,4 Ghz harus mampu menjaga kecepatan 100 Mbps agar tidak mengganggu pasar seluler," ungkap Sigit pada kesempatan yang sama. Ia juga menegaskan pentingnya untuk tidak mengizinkan pemenang lelang untuk hanya menyajikan layanan 4G yang kecepatan internetnya tidak mencapai target yang diharapkan. Sigit menekankan bahwa jika hal ini tidak diatur dengan baik, potensi kegagalan pasar dapat terjadi, yang tidak menguntungkan bagi masyarakat.

Sigit berharap penetapan frekuensi dapat dilakukan melalui seleksi secara hybrid, yang menggabungkan mekanisme lelang dengan beauty contest. Dalam hal ini, penyelenggara yang berminat harus memberikan penawaran harga tertinggi, namun juga menyertakan proposal komitmen pembangunan jaringan.

Selain itu, Sigit juga menunjukkan pentingnya mempertimbangkan aspek berbasis komunitas dalam distribusi akses internet ini, yang bisa menghindarkan terjadinya market failure atau kegagalan pasar.

Pengalaman negara-negara lain mengindikasikan bahwa pendekatan berbasis komunitas dapat menjadi solusi efektif untuk permasalahan serupa. Dengan cara ini, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus dalam memastikan bahwa kepentingan masyarakat kecil tidak diabaikan dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi yang semakin pesat ini.

Pihak penyelenggara diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan komersial, namun juga mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas dari kehadiran layanan internet yang lebih terjangkau dan berkualitas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved