Sumber foto: Google

Intel di Ujung Tanduk: Strategi Baru CEO Tan Mampu Menyelesaikan Krisis?

Tanggal: 29 Apr 2025 10:15 wib.
Nasib Intel kini benar-benar berada di ujung tanduk. Pada Jumat, 25 April 2025, saham perusahaan raksasa chip ini anjlok lebih dari 8% setelah Intel mengeluarkan proyeksi pendapatan dan laba yang jauh di bawah ekspektasi pasar. Penurunan ini menambah panjang daftar tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai penguasa industri semikonduktor global.

CEO Intel, Lip-Bu Tan, yang baru saja mengambil alih posisi tersebut, telah meluncurkan strategi baru yang diharapkan dapat mengembalikan kejayaan perusahaan. Namun, meskipun Tan berusaha tenang, pasar tidak begitu yakin bahwa langkah-langkah tersebut akan cukup untuk menstabilkan keadaan yang semakin genting. Beberapa analis dan pakar industri mengungkapkan bahwa mengubah arah perusahaan sebesar Intel akan sangat sulit, karena perubahan tersebut ibarat "membelokkan kapal perang," yang memerlukan waktu dan usaha besar.

Krisis Intel dimulai setelah serangkaian keputusan bisnis yang kurang tepat selama bertahun-tahun, yang akhirnya membuat mereka tertinggal dalam industri kecerdasan buatan (AI) yang kini tengah berkembang pesat. Di saat yang bersamaan, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China semakin memperburuk keadaan, menyebabkan ketidakpastian yang menekan permintaan untuk prosesor PC buatan Intel. Keputusan untuk tidak bergerak cepat dalam beradaptasi dengan kebutuhan AI terbukti menjadi salah satu titik kelemahan terbesar bagi Intel.

Dalam sebuah presentasi terbaru, Tan berjanji akan mengembalikan budaya inovasi Intel dengan fokus pada kekuatan utama mereka di bidang teknik. Selain itu, Tan juga mengungkapkan rencana untuk memangkas birokrasi internal perusahaan dan melakukan efisiensi tenaga kerja. Meskipun strategi ini terdengar menjanjikan, beberapa analis dari Evercore ISI dan J.P. Morgan merasa bahwa perubahan besar semacam ini tidak akan mudah dicapai dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan oleh ukuran dan kompleksitas perusahaan besar seperti Intel, yang tidak dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan drastis dalam waktu singkat.

Salah satu langkah yang dilakukan Tan untuk mengatasi kesulitan ini adalah dengan berfokus pada bisnis kontrak manufaktur chip, di mana Intel ingin memperluas kemampuan mereka untuk melayani perusahaan lain dalam memproduksi chip. Baru-baru ini, Tan bertemu dengan CEO TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company), salah satu pemain besar dalam industri semikonduktor, untuk mengeksplorasi kemungkinan kolaborasi. Intel berharap bahwa melalui kemitraan ini, mereka dapat meningkatkan daya saing mereka dalam manufaktur chip dan menarik lebih banyak pelanggan ke divisi foundry mereka. Namun, banyak pihak yang meragukan apakah ini cukup untuk mengatasi masalah yang ada.

Selain itu, Intel juga sempat mendapat sedikit angin segar berkat aksi para pelanggan yang menimbun chip, mengingat kekhawatiran terkait lonjakan tarif akibat perang dagang AS-China. Analis global teknologi di Quilter Cheviot, Ben Barringer, mengungkapkan bahwa Intel mungkin sedikit diuntungkan jika China memberikan pengecualian tertentu terhadap impor AS, mengingat eksposur Intel yang besar di pasar Asia.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi Intel adalah dalam hal AI. Tan mengungkapkan niat untuk memperkuat produk Intel agar dapat bersaing dengan pemain besar seperti Nvidia, yang kini mendominasi pasar chip AI. Nvidia, dengan keunggulan dalam teknologi grafis (GPU), telah berhasil mendominasi sektor ini, sementara Intel terkesan tertinggal dalam hal pengembangan teknologi yang mendukung kecerdasan buatan.

Para analis pun mempertanyakan bagaimana Intel akan mengejar ketertinggalan tersebut. Ruben Roy, seorang analis di Stifel, menegaskan bahwa Intel harus bergerak lebih cepat untuk mengatasi ketertinggalan ini, mengingat banyak investasi yang harus dikejar di bidang AI. Intel, yang lebih banyak mengandalkan akuisisi startup untuk memperkuat posisi mereka di ranah AI, mendapat kritik keras karena tidak membangun solusi internal sejak awal. Salah satu akuisisi Intel yang cukup dikenal adalah Mobileye, tetapi selain itu, akuisisi-akuisisi lainnya belum memberikan dampak signifikan terhadap perusahaan.

Anshel Sag, seorang analis di Moor Insights & Strategy, mengkritik langkah Intel yang lebih memilih jalur akuisisi ketimbang mengembangkan produk secara mandiri. Ia menilai bahwa seharusnya Intel sudah memiliki solusi internal yang matang untuk mendukung perkembangan AI, tetapi peluang tersebut telah terlewatkan, yang kini memberi ruang bagi Nvidia untuk meraih posisi dominan di pasar chip AI.

Salah satu kesalahan terbesar Intel adalah gagal memanfaatkan ledakan permintaan chip AI dalam beberapa tahun terakhir. Kesempatan besar ini dibiarkan begitu saja, sementara Nvidia terus melesat dengan teknologi GPU yang lebih canggih dan mampu mendukung kebutuhan sektor AI. Tanpa kekayaan intelektual di bidang GPU yang sekuat Nvidia, Intel kini harus berjuang keras untuk mengejar ketertinggalan dan mencoba mendapatkan kembali pangsa pasar yang hilang.

Sebagai hasilnya, Intel kini menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan posisinya di pasar semikonduktor global. Meskipun ada upaya untuk mengubah arah perusahaan dan berfokus pada inovasi dan efisiensi, banyak yang meragukan apakah langkah-langkah tersebut cukup untuk membalikkan keadaan dan memperbaiki nasib perusahaan yang kini sedang terpuruk. Hanya waktu yang akan menentukan apakah strategi baru ini dapat mengembalikan kejayaan Intel ataukah perusahaan ini akan semakin tergerus oleh pesaing-pesaingnya yang lebih cepat beradaptasi dengan tren teknologi terbaru.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved