Inovasi Tanpa Google: Huawei Mate XT Lipat Tiga Pecahkan Rekor Penjualan, Tapi Mampukah Bertahan di Pasar Global?
Tanggal: 12 Apr 2025 21:48 wib.
Dalam dunia teknologi yang kian kompetitif, inovasi bukan sekadar keunggulan, tapi menjadi senjata utama untuk bertahan dan menonjol. Huawei, raksasa teknologi asal Tiongkok, membuktikan hal itu dengan meluncurkan Huawei Mate XT, ponsel lipat tiga pertama di dunia pada September 2024—tepat di saat Apple meluncurkan lini iPhone 16.
Kemunculan Huawei Mate XT bukan hanya peristiwa teknologi biasa. Bagi banyak pengamat dan analis, kehadiran perangkat ini menjadi kemenangan simbolik Huawei atas tekanan dan pembatasan yang terus datang dari pemerintah Amerika Serikat. Di tengah blokade akses terhadap teknologi penting seperti layanan Google dan chipset AS, Huawei justru muncul dengan inovasi radikal yang belum berhasil diwujudkan oleh pesaing globalnya.
Ya, hingga kini, Apple sendiri belum meluncurkan ponsel lipat, apalagi dengan format tiga lipatan. Huawei lebih dulu melangkah dengan menyuguhkan konsep futuristik yang langsung bisa dicicipi oleh konsumen secara komersial.
Namun, inovasi datang dengan harga. Huawei Mate XT dibanderol dengan harga fantastis: 3.499 euro atau sekitar Rp66 juta, menjadikannya salah satu smartphone termahal di dunia. Harga ini memicu kekhawatiran di tengah kondisi ekonomi global yang sedang tidak pasti, di mana konsumen menjadi lebih selektif terhadap pengeluaran, terutama untuk barang mewah seperti gadget premium.
Meski demikian, Huawei tampaknya berhasil mematahkan keraguan itu. Mengutip laporan dari GSMArena pada Jumat (11/4/2025), kabar dari dalam negeri Tiongkok menyebutkan bahwa sebanyak 400.000 unit Huawei Mate XT telah terjual habis. Angka yang sangat mencolok, mengingat harga jual yang tinggi dan fakta bahwa ini adalah generasi pertama dari produk barunya.
Tentu, bila dibandingkan dengan penjualan smartphone populer lainnya, angka 400.000 unit belumlah mengesankan. Namun, untuk segmen ponsel lipat premium ultra-mahal, pencapaian ini menjadi penanda keberhasilan awal yang sangat penting. Apalagi, ponsel ini belum lama dirilis secara global.
Huawei secara resmi meluncurkan Mate XT ke pasar internasional pada Februari 2025, dengan ekspektasi tinggi untuk memperluas pengaruh mereka di luar Tiongkok. Namun, tantangan besar masih menghadang. Ketiadaan layanan Google seperti Gmail, YouTube, dan Play Store tetap menjadi batu sandungan utama bagi konsumen di luar negeri, terutama di pasar barat yang sangat bergantung pada ekosistem Google.
Tak hanya itu, harga jual di pasar internasional kemungkinan lebih tinggi, mempersempit segmentasi pasar potensial. Negara-negara berkembang pun menjadi tantangan tersendiri karena sensitif terhadap harga.
Namun, di balik semua itu, Huawei menunjukkan ketahanan dan daya adaptasi yang luar biasa. Sejak dikenai sanksi oleh pemerintah AS pada 2019, Huawei terus berupaya mengembangkan ekosistemnya sendiri, termasuk HarmonyOS dan AppGallery sebagai pengganti layanan Google. Keberhasilan menjual ratusan ribu unit Mate XT di pasar domestik membuktikan bahwa strategi ini memiliki peluang untuk berkembang, terutama jika Huawei mampu membangun daya tarik teknologi dan layanan secara konsisten.
Secara teknis, Huawei Mate XT menawarkan layar fleksibel tiga lipatan yang mampu berubah dari ukuran smartphone menjadi ukuran tablet besar dalam hitungan detik. Teknologi engsel lipat yang digunakan diklaim sangat tahan lama, dan perangkat ini dilengkapi dengan spesifikasi kelas atas seperti kamera resolusi tinggi, prosesor terbaru, serta performa multitasking yang optimal.
Huawei juga tidak ragu menampilkan bahwa produknya bukan sekadar gimmick teknologi. Desain premium, kecepatan, dan pengalaman pengguna menjadi fokus utama. Banyak pengulas teknologi memuji keberanian Huawei mengambil langkah ini, bahkan menyebut Mate XT sebagai “penentu arah baru dalam desain smartphone masa depan.”
Meski belum jelas bagaimana performa Huawei Mate XT di pasar global, satu hal yang pasti: Huawei kembali memaksa dunia untuk memperhitungkannya. Di tengah keterbatasan akibat sanksi, mereka tak hanya bertahan, tetapi juga menciptakan teknologi yang belum mampu diikuti oleh perusahaan lain.
Tantangan selanjutnya bagi Huawei adalah memastikan bahwa Mate XT bukan sekadar “produk kejutan” jangka pendek, tetapi awal dari transformasi global. Untuk itu, mereka perlu terus memperkuat ekosistem software, mengatasi hambatan lisensi di luar negeri, serta mencari celah pasar baru di negara-negara yang lebih terbuka terhadap alternatif non-Google.
Keberhasilan Huawei Mate XT di pasar Tiongkok sudah menjadi sinyal kuat bahwa inovasi tetap bisa menang, bahkan saat menghadapi pembatasan geopolitik. Kini, pertanyaannya tinggal satu: bisakah Huawei mengulang kesuksesan itu di panggung dunia?