Hati-Hati! ChatGPT Dipakai untuk Diagnosis Penyakit, Hasilnya Bikin Kaget
Tanggal: 10 Mei 2025 06:46 wib.
Tampang.com | Kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT telah mendorong banyak orang untuk mengandalkannya dalam berbagai aspek kehidupan—termasuk urusan kesehatan. Di Amerika Serikat, tren ini makin populer. Namun, sebuah penelitian terbaru justru memunculkan peringatan serius: penggunaan chatbot AI untuk diagnosis penyakit bisa berisiko tinggi dan menyesatkan.
Survei yang dilakukan oleh Fierce Healthcare menunjukkan bahwa satu dari enam orang dewasa di AS mengaku rutin menggunakan chatbot seperti ChatGPT setiap bulan untuk mencari saran kesehatan. Praktik ini terdengar praktis, tapi ternyata jauh dari aman. Riset yang dilakukan Oxford Internet Institute mengungkapkan bahwa pengguna chatbot seringkali tidak memahami bagaimana cara memberikan informasi yang benar, yang justru membuat rekomendasi kesehatan yang diberikan menjadi tidak akurat atau menyesatkan.
Adam Mahdi, peneliti dari Oxford Internet Institute, menjelaskan bahwa interaksi antara manusia dan AI dalam konteks kesehatan masih belum ideal. “Kami menemukan adanya miskomunikasi dua arah. Pengguna sering memberikan informasi yang tidak lengkap, dan respons dari chatbot juga tidak selalu mudah dipahami. Akibatnya, keputusan yang mereka ambil tidak lebih baik dibandingkan mereka yang menggunakan metode konvensional seperti berkonsultasi langsung dengan dokter atau mencari informasi lewat sumber terpercaya,” ujar Mahdi kepada Tech Crunch.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 1.300 partisipan dari Inggris yang diberikan skenario medis yang dikembangkan oleh tenaga medis profesional. Para partisipan diminta menganalisis masalah kesehatan dan menentukan langkah yang tepat, menggunakan berbagai metode seperti bantuan chatbot, berkonsultasi dengan dokter, atau mencari informasi mandiri.
Chatbot yang digunakan dalam eksperimen ini meliputi model-model AI populer seperti ChatGPT, Command R+, dan Llama 3 yang dikembangkan oleh Meta. Hasilnya cukup mencengangkan: peserta yang menggunakan chatbot justru lebih sulit dalam mengenali gejala penyakit dengan akurat. Bahkan, mereka cenderung meremehkan kondisi medis yang sebenarnya serius.
Masalah utamanya terletak pada dua hal: kurangnya pemahaman pengguna dalam memberikan detail yang tepat, dan kemampuan chatbot yang belum bisa menyesuaikan diri dengan kompleksitas komunikasi manusia dalam konteks kesehatan. Mahdi menambahkan, “Seringkali, chatbot memberikan kombinasi antara nasihat yang benar dan yang keliru. Ini membingungkan, dan berpotensi membahayakan jika diambil sebagai keputusan akhir dalam penanganan masalah kesehatan.”
Penelitian ini menjadi alarm penting di tengah gencarnya perusahaan teknologi mengembangkan aplikasi berbasis AI untuk sektor kesehatan. Apple, misalnya, tengah menggarap sistem AI untuk memberi saran seputar pola hidup sehat—dari olahraga hingga tidur. Amazon tak ketinggalan dengan mengembangkan AI yang mampu menganalisis data medis dalam jumlah besar, sementara Microsoft fokus pada teknologi AI yang bisa membantu petugas medis dalam proses triase pasien.
Meski inovasi AI di bidang medis berkembang cepat, hingga saat ini belum ada jaminan bahwa teknologi tersebut cukup andal untuk digunakan secara luas dalam pengambilan keputusan medis. Bahkan, asosiasi tenaga kesehatan di Amerika Serikat secara tegas menyarankan agar dokter tidak mengandalkan chatbot untuk diagnosis atau penanganan pasien.
Mahdi menegaskan, “Kami mendorong agar setiap keputusan terkait kesehatan dibuat berdasarkan informasi dari sumber yang terpercaya, bukan dari chatbot yang belum terbukti efektivitasnya di dunia nyata. Penggunaan chatbot dalam bidang medis harus melalui serangkaian uji coba ketat sebelum diterapkan secara luas.”
Temuan ini memperkuat argumen bahwa kecerdasan buatan belum bisa sepenuhnya menggantikan peran manusia dalam praktik medis. Meski AI memiliki potensi besar dalam mempercepat proses analisis dan membantu dalam tugas administratif, keputusan yang menyangkut hidup dan mati tetap membutuhkan intuisi, pengalaman, dan pemahaman mendalam dari seorang tenaga medis.
Bagi masyarakat, riset ini menjadi pengingat penting agar tidak gegabah menggunakan teknologi, apalagi dalam urusan vital seperti kesehatan. Meskipun ChatGPT dan sejenisnya tampak canggih dan meyakinkan, pengguna tetap perlu bersikap kritis dan tidak serta-merta mengandalkan AI sebagai satu-satunya sumber nasihat medis.
Sebaliknya, penggunaan AI sebaiknya menjadi pelengkap, bukan pengganti. Dalam kondisi ringan atau untuk edukasi dasar, chatbot bisa berguna. Namun, untuk kondisi serius, konsultasi langsung dengan profesional medis tetap menjadi pilihan terbaik.
Dengan perkembangan teknologi yang makin cepat, kerja sama antara manusia dan AI akan menjadi penting. Tapi sampai AI benar-benar mampu memahami konteks, empati, serta keunikan setiap individu, kehadiran dokter tetap tak tergantikan.