Harga HP Samsung Bakal Meroket? Ini Ancaman Trump yang Bisa Ubah Pasar Smartphone AS
Tanggal: 27 Mei 2025 22:27 wib.
Pembeli ponsel Samsung di Amerika Serikat (AS) kemungkinan besar harus bersiap menghadapi lonjakan harga dalam waktu dekat. Hal ini dipicu oleh ancaman dari mantan Presiden AS, Donald Trump, yang berencana menerapkan tarif impor sebesar 25% untuk perangkat HP yang dijual di AS namun tidak diproduksi di wilayah negara tersebut.
Laporan dari Android Headlines menyebutkan bahwa jika kebijakan tarif ini benar-benar diberlakukan, harga HP Samsung di AS bisa melonjak antara 30% hingga 40%. Kenaikan ini bisa membuat banyak konsumen berpikir ulang sebelum melakukan pembelian, terutama untuk seri terbaru dari Galaxy S atau perangkat lipat unggulan Samsung.
Situasi ini menyoroti fakta bahwa Samsung, mirip seperti Apple, belum memiliki fasilitas produksi di dalam negeri AS. Selama ini, seluruh perangkat mereka yang dijual di pasar AS adalah produk impor dari negara-negara lain seperti Korea Selatan, Vietnam, atau India. Konsekuensinya, begitu tarif 25% diterapkan, biaya tambahan tersebut kemungkinan besar akan dibebankan langsung kepada konsumen.
Kondisi pasar saat ini sebenarnya sudah cukup menantang bagi Samsung. Meskipun secara global merek ini masih menjadi salah satu pemain utama di industri smartphone, namun di pasar AS sendiri, pangsa pasar Samsung tengah mengalami penurunan. Android Headlines mencatat bahwa pada kuartal pertama tahun 2024, pangsa pasar Samsung di AS berada di angka 31%. Namun, angka ini turun drastis menjadi hanya 18% pada kuartal keempat tahun yang sama.
Jika ancaman tarif ini direalisasikan, maka posisi Samsung bisa semakin terdesak, terutama jika kompetitor mereka berhasil menghindari tarif ini atau menemukan cara untuk menyerap beban biaya tersebut tanpa membebani pelanggan. Ini tentu akan menjadi tantangan serius bagi Samsung dalam mempertahankan daya saingnya.
Dari sisi konsumen, kondisi ini bukan sekadar spekulasi. Kenaikan harga sebesar 30% hingga 40% bisa berarti selisih harga ratusan hingga ribuan dolar per unit, tergantung jenis perangkat yang dibeli. Akibatnya, banyak pengguna potensial mungkin akan menunda pembelian atau bahkan memilih untuk tetap menggunakan perangkat lama mereka.
Secara lebih luas, situasi ini menjadi potret nyata betapa rumitnya kondisi bisnis smartphone saat ini. Kebijakan perdagangan yang tidak pasti, seperti ancaman tarif dari pemerintah, dapat berdampak besar pada strategi harga dan keputusan pembelian konsumen. Pengguna setia Samsung Galaxy di wilayah Amerika Utara harus ekstra hati-hati dan mengikuti perkembangan isu ini dengan cermat, karena keputusan mereka berikutnya bisa sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga yang tidak terduga.
Namun bukan hanya Samsung yang terancam. Apple juga turut menjadi sasaran kebijakan ini. Trump diketahui menekan perusahaan tersebut untuk memindahkan manufakturnya dari China ke wilayah AS. Dalam sebuah pernyataan, Trump mengklaim bahwa CEO Apple, Tim Cook, memiliki rencana untuk mengalihkan sebagian besar produksi iPhone ke India. Meskipun begitu, langkah tersebut tampaknya belum memuaskan Trump, yang berambisi menghidupkan kembali manufaktur domestik guna menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Meski terdengar ambisius, gagasan memindahkan seluruh lini produksi Apple ke AS dinilai kurang realistis dalam waktu dekat. Menurut Dan Ives, seorang analis teknologi dari Wedbush, proses relokasi manufaktur tersebut bisa memakan waktu hingga satu dekade. Bahkan, ia memperkirakan bahwa bila Apple benar-benar memproduksi iPhone di AS, harga satu unitnya bisa menembus angka fantastis yakni US$3.500 (sekitar Rp56,7 juta). Sebagai perbandingan, iPhone kelas atas saat ini dijual dengan harga sekitar US$1.200 (sekitar Rp19,4 juta).
Ives secara tegas menyebut gagasan Apple memindahkan seluruh produksi ke AS sebagai "dongeng yang tidak realistis". Biaya produksi yang jauh lebih tinggi dan kurangnya infrastruktur manufaktur yang memadai menjadi kendala besar dalam realisasi rencana tersebut.
Jika ancaman tarif benar-benar diberlakukan, maka masyarakat AS akan menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka harus membayar jauh lebih mahal hanya untuk bisa memiliki ponsel dari merek-merek favorit mereka, baik Samsung maupun Apple. Ini tentu bisa mengubah perilaku konsumen dalam jangka panjang, mulai dari memperpanjang siklus pemakaian perangkat hingga beralih ke merek-merek alternatif yang lebih murah.
Dari sudut pandang industri, tarif ini juga bisa mengacaukan ekosistem smartphone global. Perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Apple mungkin harus mencari strategi baru untuk mengatasi tantangan ini, mulai dari relokasi sebagian produksi, melakukan efisiensi biaya, hingga mendorong lebih banyak penjualan di luar pasar AS.
Kebijakan proteksionis seperti ini memang bisa memberikan dampak jangka pendek bagi industri manufaktur dalam negeri AS, namun di sisi lain, juga bisa menciptakan tekanan besar bagi konsumen dan pelaku industri teknologi global. Pada akhirnya, keputusan apakah tarif ini akan diterapkan atau tidak akan sangat menentukan arah pasar smartphone dalam beberapa tahun ke depan.