Hanya Karena Satu Tweet Palsu, Pasar Saham AS Bergejolak dan Rp40 Triliun Menguap dalam 15 Menit!
Tanggal: 9 Apr 2025 22:53 wib.
Dunia finansial diguncang hebat pada Senin, 7 April 2025. Pasar saham Amerika Serikat mengalami lonjakan dramatis, hanya untuk anjlok kembali dalam waktu singkat. Semua kekacauan ini dipicu oleh satu hal—sebuah cuitan palsu di platform X (dulu Twitter) yang menyebutkan bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan menunda pemberlakuan tarif baru selama 90 hari.
Dalam waktu kurang dari 15 menit sejak tweet itu beredar, nilai pasar saham AS melonjak senilai US$2,4 triliun (setara Rp40,4 triliun). Namun, euforia tersebut tak bertahan lama. Setelah klarifikasi dari Gedung Putih bahwa berita tersebut tidak benar, pasar kembali jatuh dengan cepat, meninggalkan kekacauan dan ketidakstabilan yang berlangsung hampir satu jam sebelum akhirnya pasar ditutup dengan pergerakan relatif datar.
Kejadian ini bermula dari wawancara pagi hari di stasiun televisi Fox News yang menampilkan Kevin Hassett, penasihat ekonomi Gedung Putih dari National Economic Council. Dalam wawancara tersebut, ia ditanya mengenai kemungkinan Presiden Trump menunda tarif impor selama 90 hari untuk meredakan ketegangan dagang.
Hassett menjawab dengan diplomatis namun ambigu:
"Saya rasa Presiden akan memutuskan sendiri."
Pernyataan ini rupanya cukup untuk menciptakan kebingungan. Tak lama kemudian, sebuah akun finansial terverifikasi bernama Hammer Capital (@yourfavorito) memposting kutipan keliru dari wawancara tersebut. Isi cuitannya berbunyi:
"HASSETT: TRUMP SEDANG MEMPERTIMBANGKAN PENUNDAAN TARIF SELAMA 90 HARI UNTUK SEMUA NEGARA KECUALI CHINA."
Tweet itu viral dalam hitungan menit dan segera disebarkan oleh banyak pengguna, termasuk media finansial. Bahkan CNBC International sempat menayangkan informasi tersebut secara langsung, yang memperkuat keyakinan publik bahwa kabar tersebut sahih.
Akibatnya, investor bereaksi cepat dengan memborong saham—sebuah refleks alami ketika pasar menganggap bahwa beban tarif impor akan ditangguhkan, yang tentu berarti margin keuntungan bisa meningkat. Nilai saham langsung melonjak tajam, dan kapitalisasi pasar AS melonjak drastis.
Namun, tidak lama setelah lonjakan itu, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah adanya rencana penundaan tarif. Mereka menegaskan bahwa tidak ada kebijakan baru yang diumumkan, dan menyebut informasi viral tersebut sebagai "berita palsu."
Reaksi pasar pun langsung berbalik arah. Saham-saham yang sempat melonjak mulai melemah. Dalam waktu singkat, pasar kembali jatuh, menciptakan gelombang volatilitas yang membuat para investor dan analis geleng-geleng kepala. Banyak yang membandingkan insiden ini dengan “Black Monday” 1987, ketika pasar saham global runtuh akibat kepanikan massal. Bahkan, tagar #BlackMonday menjadi trending topic di platform X.
Kekacauan ini tidak hanya terbatas di Amerika Serikat. Dampaknya menyebar ke pasar Asia dan Eropa. Bursa saham Hong Kong mengalami penurunan drastis sebesar 13,2%, yang merupakan level terburuk dalam hampir tiga dekade. Sementara itu, bursa Tokyo anjlok 8%, menciptakan efek domino dari kekacauan yang berakar pada informasi palsu.
Menurut Rick Meckler, analis senior dari Cherry Lane Investments, peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem pasar saat ini terhadap rumor dan misinformasi. Ia menyebut bahwa ketidakpastian yang dihasilkan oleh kebijakan perdagangan Trump justru memperparah kegelisahan investor, sehingga pasar menjadi sangat sensitif terhadap segala bentuk spekulasi.
"Pasar kini sangat rentan. Satu narasi yang tidak jelas atau sebuah rumor bisa memicu reaksi ekstrem, terutama saat ekonomi dunia tengah berada dalam ketidakpastian besar," ujar Meckler.
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa era informasi digital juga membawa risiko besar terhadap kestabilan finansial global. Platform media sosial, yang awalnya dimaksudkan sebagai sarana komunikasi cepat dan transparan, kini justru dapat menjadi sumber kekacauan ekonomi jika tidak disertai dengan validasi informasi.
Lebih dari itu, insiden ini menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam menyampaikan pernyataan publik, terutama bagi pejabat tinggi negara. Ambiguitas dalam komunikasi ekonomi, apalagi di tengah tensi dagang yang tinggi, bisa berujung pada kerugian finansial dalam skala triliunan dolar.
Sementara itu, para analis kini semakin gencar menyerukan perlunya sistem verifikasi informasi yang lebih ketat di pasar modal, serta memperkuat edukasi digital kepada publik agar tidak mudah terpengaruh oleh kabar yang belum terbukti kebenarannya.
Di saat kebijakan ekonomi dan perdagangan global berada di persimpangan, satu informasi palsu saja bisa membuat pasar berputar arah, memicu kepanikan massal, dan menyebabkan kerugian yang tak main-main. Dunia kini melihat sendiri, betapa kuatnya pengaruh satu tweet dalam menggerakkan ekonomi raksasa seperti Amerika Serikat.