Sumber foto: iStock

Google Tolak Fitur Fact-Checking UE: Mengapa Raksasa Teknologi Ini Bertahan dengan Cara Mereka?

Tanggal: 19 Jan 2025 20:28 wib.
Google, sebagai salah satu raksasa teknologi dunia, kembali menunjukkan sikap yang tegas terkait kebijakan Uni Eropa (UE) dalam menangani disinformasi. Dalam surat yang dikirimkan oleh Kent Walker, Presiden Urusan Global Google, kepada Renate Nikolay, petinggi Komisi Eropa, perusahaan tersebut menegaskan bahwa mereka tidak akan menambahkan fitur pengecekan fakta (fact-checking) pada hasil pencarian di mesin pencari Google maupun video di platform YouTube. Selain itu, Google juga tidak akan menggunakan sistem fact-checking untuk menentukan pemeringkatan konten di platform mereka.

Keputusan ini tentu menjadi perhatian karena di tengah semakin masifnya penyebaran disinformasi di dunia maya, banyak pihak, termasuk Uni Eropa, mendorong perusahaan-perusahaan teknologi untuk ikut bertanggung jawab dalam memerangi hoaks dengan cara menyediakan fitur pengecekan fakta dalam layanan mereka. Namun, Google memilih untuk tetap mempertahankan cara mereka sendiri dalam mengelola konten yang muncul di platformnya.

Penting untuk dicatat bahwa sejak awal, Google memang tidak pernah menganggap pengecekan fakta sebagai bagian dari proses moderasi konten di platform mereka. Hal ini berbeda dengan permintaan yang diajukan oleh Uni Eropa dalam aturan terbaru mereka, yakni Disinformation Code of Practice yang memperkenalkan kewajiban untuk menyertakan sistem pengecekan fakta pada layanan mereka, serta membangun algoritma yang didasarkan pada prinsip tersebut.

Aturan yang diterapkan oleh Uni Eropa ini dimaksudkan untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah di dunia maya. Disinformation Code of Practice ini sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 2022 dan bersifat sukarela bagi perusahaan-perusahaan teknologi. Namun, dalam perjalanannya, Komisi Eropa mulai menggelar berbagai diskusi dengan perusahaan-perusahaan tersebut dan mendorong mereka untuk lebih memperkuat cara mereka menangani disinformasi.

Kent Walker, dalam suratnya, menjelaskan bahwa meskipun Google menghargai upaya Uni Eropa, mereka merasa bahwa aturan baru ini tidak efektif dan tidak cocok untuk diterapkan pada platform mereka. Walker menegaskan bahwa Google telah memiliki pendekatan yang sudah terbukti efektif dalam moderasi konten. Sebagai contoh, Google merujuk pada perbaikan yang terjadi selama siklus pemilu global pada tahun 2024. Google merasa bahwa meskipun mereka tidak menggunakan sistem fact-checking, pendekatan mereka dalam moderasi konten tetap dapat memberikan hasil yang memadai.

Google juga mencatat bahwa mereka telah menambahkan fitur pada YouTube pada tahun lalu yang memungkinkan pengguna untuk menambahkan catatan kontekstual pada video. Fitur ini dinilai dapat membantu memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konten yang diunggah tanpa harus menggunakan sistem pengecekan fakta. Dengan demikian, Google merasa bahwa kebijakan yang mereka terapkan sudah cukup efektif dalam memastikan keakuratan informasi yang tersedia bagi penggunanya.

Namun, pernyataan ini tentu saja tidak langsung diterima oleh pihak Uni Eropa. Sebagai pihak yang mengatur dan mengawasi regulasi di kawasan tersebut, Komisi Eropa tetap menginginkan adanya perubahan dari perusahaan-perusahaan teknologi besar, termasuk Google, dalam menghadapi tantangan disinformasi yang semakin berkembang. Komisi Eropa berharap perusahaan-perusahaan teknologi tidak hanya mengandalkan kebijakan mereka sendiri, tetapi juga berpartisipasi dalam mengurangi penyebaran informasi yang salah secara aktif.

Meski demikian, Google menegaskan bahwa mereka akan tetap fokus pada upaya memperbaiki praktik moderasi konten mereka. Mereka berkomitmen untuk terus berinvestasi dalam pengembangan algoritma dan teknologi yang dapat meningkatkan keakuratan informasi di mesin pencari Google, tanpa harus menambahkan sistem pengecekan fakta yang dianggap tidak sesuai dengan filosofi perusahaan mereka.

Keputusan Google untuk menolak menerapkan sistem pengecekan fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan. Mengingat peran besar yang dimiliki Google dan YouTube dalam distribusi informasi di seluruh dunia, apakah penolakan ini akan memperburuk masalah disinformasi? Ataukah Google memiliki pendekatan yang lebih efektif dalam memerangi hoaks yang justru tidak bergantung pada fact-checking?

Sebagai langkah ke depan, Google berjanji untuk terus meningkatkan proses moderasi konten mereka, meskipun tanpa melibatkan sistem pengecekan fakta. Hal ini menunjukkan bahwa Google tetap berpegang pada prinsip untuk tidak mengubah algoritma mereka secara drastis hanya untuk memenuhi tuntutan eksternal.

Sementara itu, pihak Uni Eropa tentu akan terus memantau situasi ini dan mungkin akan memperkenalkan kebijakan baru untuk menanggapi tantangan disinformasi yang berkembang pesat. Bagi pengguna internet, terutama di kawasan Eropa, keputusan ini tentu akan mempengaruhi cara mereka mengakses dan mempercayai informasi yang mereka temukan di platform-platform besar seperti Google dan YouTube.

Apakah ini berarti Google akan semakin bebas dalam menentukan konten yang mereka tampilkan tanpa adanya pengawasan yang lebih ketat? Atau apakah langkah Uni Eropa akan membuahkan kebijakan yang lebih ketat bagi perusahaan-perusahaan teknologi di masa depan? Hanya waktu yang akan menjawab.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved