Google Mulai Ditinggalkan? Inilah Alasan Gen Z & Milenial Beralih ke AI & TikTok untuk Cari Informasi
Tanggal: 10 Mei 2025 13:39 wib.
Kejayaan Google sebagai mesin pencari nomor satu di dunia mulai tergoyahkan. Selama bertahun-tahun, Google menjadi pilihan utama pengguna internet untuk mencari informasi, tutorial, hingga rekomendasi produk. Namun kini, kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) dan popularitas media sosial seperti TikTok mulai mengubah cara orang mencari dan mengonsumsi informasi secara drastis.
Bahkan, perusahaan teknologi besar seperti Apple pun mulai mempersiapkan langkah untuk meninggalkan dominasi Google. Dalam sebuah pengakuan di persidangan antimonopoli terhadap Google, Wakil Presiden Senior Layanan Apple, Eddy Cue, menyebutkan bahwa Apple tengah mempertimbangkan integrasi fitur pencarian berbasis AI ke dalam browser Safari. Langkah ini diproyeksikan mulai berlaku pada tahun depan, menggantikan Google sebagai mesin pencari default.
Perkembangan ini bukan sekadar spekulasi. Dikutip dari laporan The Verge pada Kamis (8 Mei 2025), Apple disebut telah berdiskusi dengan sejumlah penyedia teknologi pencarian berbasis AI seperti Perplexity, OpenAI, dan Anthropic. Meski fitur-fitur yang ditawarkan AI saat ini belum sepenuhnya matang, Apple tetap membuka opsi agar dapat segera beralih jika teknologi tersebut berkembang pesat dalam waktu dekat.
Dalam konteks ini, Apple memang tak ingin ketinggalan. Siri, asisten virtual dari Apple, diketahui telah mulai diintegrasikan dengan ChatGPT, dan kabarnya, Gemini dari Google juga akan segera hadir di iPhone. Sundar Pichai, CEO Google, menyatakan bahwa mereka hampir mencapai kesepakatan kerja sama dengan Apple.
Namun, yang mengejutkan adalah pengakuan dari Eddy Cue bahwa volume pencarian di Safari mengalami penurunan signifikan pada bulan lalu. Ia menyebut penurunan ini sebagai yang pertama kalinya dalam dua dekade terakhir. Ini menunjukkan bahwa perubahan besar sedang berlangsung di ekosistem pencarian digital, terutama di kalangan generasi muda.
Sebuah laporan kolaboratif dari The Verge, Vox Media Research, dan Two Cents Insights juga memperkuat sinyal perubahan tersebut. Hasil survei terhadap 2.000 pengguna internet di Amerika Serikat mengungkap bahwa 42% responden menganggap Google semakin tidak berguna dalam pencarian informasi. Sementara 66% menyatakan kualitas informasi yang tersedia di internet semakin buruk, dan semakin sulit menemukan sumber yang dapat dipercaya.
Laporan tersebut menunjukkan pergeseran perilaku pengguna dalam mencari informasi. Alih-alih mengandalkan Google, banyak orang kini lebih memilih platform berbasis komunitas atau AI chatbot untuk mendapatkan informasi yang relevan dan dapat dipercaya. Sebanyak 55% responden lebih memilih mencari informasi lewat komunitas mereka, dan 52% sudah beralih ke platform seperti TikTok dan AI chatbot seperti ChatGPT untuk mendapatkan referensi atau pengetahuan.
Tingkat kepercayaan publik terhadap hasil pencarian Google juga menurun. Sebanyak 76% responden merasa bahwa lebih dari seperempat hasil pencarian saat mereka ingin belanja online adalah konten berbayar atau bersponsor. Ironisnya, hanya 14% dari konten tersebut yang dianggap benar-benar bermanfaat atau memberikan nilai tambah.
Khususnya pada generasi muda, tren peralihan ini terlihat lebih kuat. Sebanyak 61% Gen Z dan 53% milenial mengaku lebih nyaman menggunakan alat pencari berbasis AI daripada Google saat ingin mencari informasi tentang topik-topik tertentu yang lebih spesifik.
Fenomena ini menjadi tanda bahwa dominasi Google tidak lagi mutlak. Banyak alternatif lain kini tersedia di pasaran. Selain nama besar seperti OpenAI dan Perplexity, ada juga nama-nama yang mulai mencuri perhatian seperti Komo AI, Brave Search, iAsk.AI, Andi Search, hingga You.com. Mereka menawarkan pendekatan pencarian yang lebih kontekstual, personal, dan sering kali lebih cepat menjawab kebutuhan pengguna.
Tak hanya dari sisi teknologi, Google juga menghadapi tekanan dari sisi regulasi. Uni Eropa dan Amerika Serikat semakin gencar menekan Google atas dugaan praktik monopoli. Sorotan tajam datang atas sistem pembayaran Google ke Apple sebesar USD 20 miliar agar tetap menjadi mesin pencari default di Safari. Langkah tersebut menjadi salah satu bukti betapa seriusnya dominasi Google dalam ekosistem digital global — dominasi yang kini mulai digoyang oleh teknologi baru.
Masyarakat kini menginginkan pengalaman pencarian yang lebih humanis, cepat, dan sesuai konteks kebutuhan mereka. Ketergantungan pada algoritma pencarian yang bias terhadap iklan atau konten bersponsor mulai ditinggalkan. Sebaliknya, pengguna kini mencari jawaban yang langsung, terpercaya, dan berasal dari komunitas atau AI yang mampu memberikan perspektif yang lebih netral dan mendalam.
Dengan pergeseran tren ini, masa depan mesin pencari akan sangat ditentukan oleh siapa yang mampu mengintegrasikan kecerdasan buatan secara etis, efisien, dan andal. Google memang belum benar-benar runtuh, namun tantangannya kini jauh lebih berat dari sebelumnya. Jika tak segera beradaptasi, bukan tak mungkin posisinya akan digeser oleh pemain-pemain baru yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan generasi digital masa kini.