Sumber foto: Google

Google AI Disorot, Teknologi Makin Canggih tapi Dinilai Diskriminatif?

Tanggal: 1 Jun 2025 15:22 wib.
Tampang.com | Kecerdasan buatan (AI) dari Google tengah menjadi sorotan setelah sejumlah pengguna dan pakar teknologi menilai bahwa sistem AI yang digunakan raksasa teknologi itu menyimpan bias dan potensi diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Di tengah popularitas AI yang makin menjangkau banyak sektor, kekhawatiran soal etika dan keadilan dalam penggunaan teknologi pun mengemuka.

Google yang selama ini dikenal sebagai pelopor pengembangan AI global, kini harus menghadapi pertanyaan besar: apakah AI benar-benar netral, atau diam-diam membawa ketimpangan dalam desainnya?

AI Dinilai Memihak, Publik Geram

Kritik muncul setelah fitur-fitur pencarian berbasis AI dan asisten pintar Google diduga menghasilkan respons yang tidak adil atau merugikan kelompok tertentu, mulai dari etnis hingga gender. Dalam beberapa uji coba, tanggapan AI dianggap lebih cenderung menguatkan stereotip tertentu yang sebenarnya berbahaya jika dibiarkan.

“Masalahnya bukan sekadar salah teknis. Ini menyangkut bagaimana AI dibentuk berdasarkan data yang bias dari dunia nyata. Jika tidak dikontrol, maka teknologi justru akan memperkuat ketidakadilan,” ujar seorang peneliti etika AI dari sebuah universitas ternama di Eropa.

Algoritma Tak Netral, Siapa yang Disalahkan?

Salah satu sumber masalah adalah cara AI dilatih. Sistem kecerdasan buatan seperti milik Google mengandalkan data dalam jumlah besar untuk “belajar” membuat keputusan dan menjawab pertanyaan. Namun, ketika data tersebut mencerminkan bias masyarakat—seperti diskriminasi rasial, stereotip gender, atau ketimpangan sosial—maka AI akan ikut “belajar” dari bias tersebut.

Dalam hal ini, banyak yang mempertanyakan tanggung jawab Google sebagai penyedia teknologi: mengapa mereka tidak mampu menyaring atau mengoreksi bias tersebut sebelum sistem diluncurkan ke publik?

Google Berkilah, Publik Tak Puas

Menanggapi tudingan ini, Google menyatakan bahwa mereka terus mengembangkan sistem untuk meminimalkan bias dalam AI. Namun, pernyataan tersebut dinilai belum cukup konkret. Para pemerhati teknologi menganggap bahwa langkah-langkah mitigasi Google belum transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.

“Kalau AI dipakai di layanan publik, maka akuntabilitasnya juga harus publik. Kita butuh keterbukaan, bukan hanya janji,” tegas aktivis digital dari Asia Tenggara.

Dampak Besar, Risiko Sosial Nyata

Kecerdasan buatan kini digunakan dalam berbagai aspek kehidupan: dari dunia pendidikan, pelayanan kesehatan, sistem hukum, hingga perekrutan kerja. Jika sistem ini bias, maka dampaknya bisa merugikan jutaan orang secara sistematis.

Bayangkan AI yang digunakan untuk menyaring CV pelamar kerja dan secara tidak sadar menolak kandidat berdasarkan nama yang diasosiasikan dengan etnis tertentu. Atau sistem rekomendasi yang cenderung mengabaikan kelompok minoritas. Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut nilai-nilai dasar dalam masyarakat.

Desakan Regulasi dan Transparansi Makin Kuat

Dalam situasi ini, tekanan terhadap pemerintah dan regulator internasional pun meningkat. Banyak pihak menyerukan pembentukan standar etika global dan aturan hukum yang tegas dalam pengembangan serta penggunaan AI.

Beberapa negara bahkan mulai menyusun Undang-Undang Khusus AI yang mengatur batasan penggunaan teknologi berbasis algoritma. Tujuannya jelas: memastikan bahwa teknologi tidak melampaui prinsip kemanusiaan.

AI Canggih Tak Boleh Kalah dari Nilai Etik

Publik kini menuntut agar pengembangan AI tidak hanya fokus pada kecanggihan, tetapi juga pada tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Sebab, di era digital, teknologi bukan sekadar alat bantu—ia telah menjadi penentu keputusan dalam banyak aspek hidup manusia.

Jika Google dan raksasa teknologi lainnya ingin tetap dipercaya, mereka harus membuka diri, melakukan audit sistemik, serta melibatkan suara dari kelompok masyarakat yang rentan terdampak oleh ketimpangan algoritma.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved