Sumber foto: iStock

Gemerlap Dunia Influencer: Persaingan Ketat dan Pendapatan yang Kian Menyusut

Tanggal: 25 Nov 2024 20:59 wib.
Perkembangan media sosial hingga saat ini semakin masif dan berkembang pesat. Fenomena ini mendorong banyak konten kreator atau influencer baru yang mencoba mencari peruntungan di media sosial. Namun, kehidupan dunia gemerlap menjadi influencer tidak seindah yang terlihat di layar HP. Industri tersebut sudah semakin sesak dan memunculkan persaingan sengit untuk mendapat keuntungan finansial.

Platform media sosial dilaporkan tidak lagi memberikan komisi sebesar dulu kepada para kreator konten. Para brand atau merek ternama juga lebih selektif dalam menjalin kerja sama dengan influencer. Menurut laporan The Wall Street Journal, salah satu contoh kasus adalah Clint Brantley, seorang kreator konten yang sudah menjalani profesi ini secara full-time selama tiga tahun terakhir.

Brantley menghasilkan konten yang ia bagikan di TikTok, YouTube, dan Twitch, kebanyakan di antaranya berkaitan dengan tren permainan mobile Fortnite. Meski memiliki lebih dari 400.000 pengikut dengan rata-rata tayangan pada kontennya melebihi 100.000, penghasilan Brantley pada tahun lalu lebih kecil daripada rata-rata gaji tahunan pekerja penuh waktu di Amerika Serikat pada 2023 sebesar US$ 58.084 atau setara dengan Rp 950 jutaan.

Pria berusia 29 tahun ini tidak siap untuk menyewa apartemen mengingat pendapatan yang tidak stabil. Saat ini, Brantley masih tinggal bersama ibunya di Washington. Dia mengatakan, "Saya sangat rentan." The Wall Street Journal mencatat bahwa meraih penghasilan yang layak dan dapat diandalkan sebagai kreator konten merupakan hal yang sulit, dan akan makin sulit.

Platform media sosial makin lama makin membatasi pemberian uang untuk konten-konten populer. Di sisi lain, para brand lebih spesifik dalam memilih kerja sama dengan influencer. Situasi ini semakin diperparah dengan ancaman penutupan TikTok di Amerika Serikat pada tahun 2025 mendatang, yang membuat banyak kreator konten khawatir apakah mereka masih bisa meraih penghasilan dari media sosial jika salah satu mata pencaharian mereka dihapus.

Menurut laporan Goldman Sachs pada tahun 2023, ratusan juta orang di seluruh dunia aktif dalam membuat konten yang menghibur dan mendidik di media sosial. Sekitar 50 juta orang mendapatkan penghasilan dari aktivitas tersebut. Bank investasi tersebut memperkirakan jumlah kreator yang menghasilkan pendapatan akan terus meningkat pada tingkat tahunan sebesar 10% hingga 20% hingga tahun 2028. Hal ini berkontribusi pada peningkatan jumlah pencari nafkah, meski Departemen Tenaga Kerja tidak secara resmi melacak gaji para influencer.

Secara umum, kreator konten membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan hingga bertahun-tahun, untuk mengumpulkan pendapatan dari platform media sosial, kerja sama dengan brand, dan program afiliasi. Namun, semakin banyaknya orang yang mencari rezeki dari industri ini, semakin kecil pula "kue" yang harus mereka bagi.

Menurut NeoReach, pada tahun lalu 48% influencer mengumpulkan pendapatan kurang dari US$ 15.000 atau setara dengan Rp 245 jutaan. Hanya 14% yang mampu mengumpulkan uang lebih dari US$ 100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar. Ketimpangan pemasukan di antara influencer ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti apakah mereka bekerja secara full-time atau part-time, tipe konten yang mereka bagikan, dan durasi mereka berkarir sebagai influencer.

Beberapa orang yang meraih ketenaran selama pandemi Covid-19 dan fokus pada topik-topik yang populer seperti mode, investasi, dan gaya hidup, mengakui bahwa momen tersebut sangat membantu perkembangan karier mereka. Namun, di balik itu semua, kreator konten mengakui bahwa pekerjaan ini sangat menguras energi dan mental. Mereka harus selalu memikirkan konten apa yang akan disukai oleh audiens dan memilih waktu yang tepat untuk mengunggahnya.

Influencer menghabiskan waktu berhari-hari untuk merencanakan, memproduksi, dan mengedit konten sebelum diunggah ke media sosial. Mereka juga harus selalu berinteraksi dengan penggemar mereka untuk menjaga popularitas. Menurut analis Emarketer, Jasmine Enberg, "Ini adalah pekerjaan yang sangat berat dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh kebanyakan orang." 

"Influencer yang bisa mencukupi kebutuhan hidup hanya dari profesi sebagai influencer sudah melakukan pekerjaan ini selama bertahun-tahun. Kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan popularitas dengan cepat," tambah analis tersebut.

Lebih dari itu, para influencer yang bekerja secara mandiri tidak mendapatkan keuntungan seperti pekerja kantoran. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan, dana pensiun, ataupun bonus tahunan. Di tengah-tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi, influencer menghadapi tekanan yang semakin sulit untuk mengamankan keuangan mereka.

Pada tahun 2020-2023, TikTok memiliki program pendanaan untuk kreator dengan total dana mencapai US$ 1 miliar. YouTube melalui fitur Shorts juga memberikan kesempatan bagi kreator untuk mengumpulkan uang sekitar US$ 100 hingga 10.000 per bulan melalui program pendanaan sementara. Sementara itu, Instagram Reels memberikan penghargaan berupa uang kepada para kreator dengan jumlah yang bervariasi. Bonus-bonus besar tersebut bertujuan agar semakin banyak orang membuat konten di platform mereka.

Namun, kini platform-platform tersebut mulai mengubah kebijakan pembayaran untuk para kreator konten. Ketentuan untuk menghasilkan uang dari TikTok kini menjadi lebih ketat. Minimal harus memiliki 10.000 pengikut dengan jumlah tayangan minimal 100.000 dalam sebulan.

Instagram juga tengah menguji coba program 'invitation-only' yang memberikan penghargaan berupa uang kepada para kreator yang membagikan Reels dan foto. Sementara YouTube memperkenalkan program pembagian pendapatan dari iklan pada tahun lalu untuk para kreator Shorts yang memiliki minimal 1.000 pelanggan dan 10 juta tayangan dalam 90 hari. Mereka akan mendapatkan 45% dari pendapatan iklan untuk konten yang mereka bagikan.

Pada akhirnya, terlihat bahwa walaupun influencer memiliki audiens yang banyak, tetap sulit bagi mereka untuk memperoleh penghasilan hanya dari platform tersebut. Hal ini diperkuat oleh pengakuan Ben-Hyun yang mengatakan bahwa pada awalnya ia mendapatkan US$ 200-400 untuk setiap satu juta tayangan, tetapi sekarang pendapatannya semakin menurun meskipun jumlah pengikutnya terus bertambah hingga mencapai 2,9 juta.

Begitu pula dengan Danisha Carter, yang mengeluhkan pendapatannya dari TikTok yang hanya mencapai US$ 12.000 meskipun memiliki 1,9 juta pengikut. Untuk meningkatkan pendapatannya, ia bahkan harus membuat merchandise dan berhasil menghasilkan US$ 5.000 pada tahun lalu.

"Kreator harus dibayar adil dengan persentase yang memadai sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh aplikasi," kata Carter. "Harus ada transparansi soal bagaimana kami dibayar, kebijakannya pun harus konsisten," tambahnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved