Gaji Tetap Mengalir Meski Menganggur: Strategi Google dalam Mengamankan Talenta AI Picu Kontroversi
Tanggal: 12 Apr 2025 13:57 wib.
Tampang.com | Google kembali menjadi sorotan setelah laporan menyebutkan bahwa perusahaan raksasa teknologi ini membayar sejumlah karyawan di divisi kecerdasan buatan (AI)-nya untuk tidak bekerja selama satu tahun penuh. Strategi ini dilakukan bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah untuk mencegah para karyawan ahli tersebut pindah dan bergabung dengan para pesaing utama seperti OpenAI dan Microsoft.
Langkah tak biasa ini mencerminkan betapa panasnya persaingan dalam industri AI global saat ini. Untuk mempertahankan talenta kelas dunia, Google lebih memilih mengeluarkan biaya besar dengan memberikan gaji penuh meski karyawan tidak aktif bekerja, daripada mengambil risiko kehilangan mereka ke tangan kompetitor.
Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh Business Insider, yang mengungkapkan bahwa divisi AI Google yang berbasis di Inggris, yaitu DeepMind, menerapkan perjanjian non-kompetisi yang sangat ketat. Karyawan yang masuk dalam skema ini tetap menerima bayaran penuh selama setahun, namun tidak diizinkan untuk bekerja di perusahaan lain, terutama yang bergerak di bidang serupa.
Kebijakan tersebut mengundang reaksi beragam. Di satu sisi, terlihat menguntungkan secara finansial bagi para karyawan. Namun di sisi lain, muncul rasa frustasi karena mereka merasa tidak bebas membangun kariernya sendiri. Beberapa peneliti bahkan mengungkapkan bahwa mereka merasa terjebak dalam kontrak yang membuat mereka tak bisa bergerak ke mana-mana.
Kritik terhadap kebijakan ini juga datang dari Nando de Freitas, Wakil Presiden bidang AI di Microsoft. Lewat unggahannya di media sosial X (sebelumnya Twitter), ia menyatakan bahwa banyak staf DeepMind menghubunginya secara langsung untuk mencari jalan keluar dari kontrak tersebut. Menurut Nando, mereka mengaku frustrasi dan merasa tak memiliki pilihan untuk berkembang. Ia juga menyebutkan bahwa sebagian dari mereka berharap bisa mendapatkan pekerjaan di Microsoft, namun dirinya memilih tidak menanggapi secara langsung agar tetap menjaga etika profesional.
Lebih jauh lagi, Nando mengecam keras kontrak non-kompetitif tersebut, terutama karena kontrak itu diberlakukan oleh perusahaan asal Amerika di kawasan Eropa. Ia menilai ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan perusahaan, yang mengekang kebebasan individu untuk memilih jalan kariernya. Ia bahkan memperingatkan agar para profesional tidak menandatangani kontrak semacam itu karena dampaknya bisa sangat membatasi ruang gerak.
Kebijakan ini menjadi cermin dari ketegangan global dalam perebutan talenta AI. Sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Meta, hingga Baidu, saat ini berlomba-lomba merekrut pakar AI terbaik di dunia. Mereka menawarkan berbagai fasilitas menarik, mulai dari gaji tinggi, akses ke teknologi canggih, hingga kebebasan dalam riset dan pengembangan. Namun, berbeda dengan pendekatan yang lebih terbuka, Google memilih strategi defensif dengan “mengamankan” karyawannya melalui kontrak eksklusif.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang terikat kontrak, tetapi juga memunculkan perdebatan di ranah etika dan hukum ketenagakerjaan. Banyak pihak mempertanyakan apakah kontrak semacam itu layak diberlakukan, terutama di Eropa yang sangat menjunjung tinggi kebebasan kerja dan perlindungan terhadap pekerja.
Tak sedikit yang menganggap bahwa strategi seperti ini justru bisa menghambat inovasi. Ketika para talenta terbaik tidak diberi kesempatan untuk berkembang atau berkarya secara bebas, maka potensi mereka bisa terhambat. Hal ini bertentangan dengan semangat dasar dunia teknologi yang mestinya mendorong kolaborasi, eksplorasi, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Di sisi lain, dari sudut pandang bisnis, langkah Google ini bisa dipahami. Investasi dalam riset dan pengembangan AI tidak murah. Melindungi hasil dan proses internal dari bocornya informasi ke tangan kompetitor adalah bagian dari strategi mempertahankan keunggulan kompetitif. Namun demikian, keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan hak individu tetap perlu diperhatikan.
Fenomena ini bisa menjadi tanda bahwa industri AI telah memasuki fase baru yang tidak hanya bersaing dalam hal teknologi, tetapi juga dalam hal mempertahankan SDM terbaik. Jika tren seperti ini terus berkembang, bukan tidak mungkin akan muncul regulasi baru yang mengatur kontrak kerja di bidang teknologi, terutama yang menyangkut non-kompetisi dan kebebasan bekerja.
Pada akhirnya, muncul pertanyaan penting: apakah “liburan berbayar” ini benar-benar merupakan bentuk penghargaan terhadap talenta, atau justru cara halus menahan potensi agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain? Inilah dilema yang kini dihadapi perusahaan-perusahaan besar di era revolusi kecerdasan buatan yang semakin kompleks dan kompetitif.