Fenomena “Fake News” dan Hoaks Makin Canggih Karena AI, Apakah Kita Semakin Sulit Membedakannya?
Tanggal: 10 Mei 2025 17:35 wib.
Tampang.com | Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah membuka banyak peluang, tapi juga membawa risiko serius dalam ekosistem informasi. Di Indonesia, konten hoaks kini bukan hanya disebar lewat tulisan sensasional, tapi juga melalui video deepfake, suara palsu, hingga gambar yang dimanipulasi dengan sangat meyakinkan. Apakah masyarakat kita sudah cukup siap membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu?
AI Digunakan untuk Manipulasi Fakta
Dengan teknologi deep learning, siapa pun kini bisa membuat video seseorang berbicara tanpa pernah mengucapkan kata-kata itu. Bahkan, wajah tokoh publik bisa dimanipulasi sedemikian rupa hingga tampak seperti pernyataan asli. Ini menimbulkan tantangan besar bagi jurnalisme, keamanan digital, dan kepercayaan publik.
“Dalam satu klik, orang bisa membuat video Presiden atau tokoh agama menyampaikan pernyataan palsu. Dampaknya bisa sangat besar, terutama menjelang tahun politik,” kata Rizal Arifin, pakar media digital dari Universitas Indonesia.
Lonjakan Hoaks Politik dan Sosial
Data dari Kominfo mencatat lebih dari 11.000 konten hoaks digital terdeteksi sepanjang tahun 2024. Mayoritas terkait isu politik, kesehatan, dan konflik sosial. Yang mengejutkan, sebagian besar hoaks tersebut menggunakan elemen visual dan audio buatan AI.
“Yang bahaya bukan cuma kontennya, tapi kecepatan penyebarannya yang tidak sebanding dengan kemampuan verifikasi publik,” ungkap Rizal.
Kebingungan Publik dan Rendahnya Literasi Digital
Sebagian besar masyarakat belum punya kemampuan literasi digital yang cukup untuk membedakan antara konten asli dan manipulasi digital. Apalagi di wilayah-wilayah dengan akses edukasi dan teknologi yang terbatas.
“Saya sendiri sering bingung, mana video yang beneran, mana yang editan. Semua tampak nyata,” ujar Dwi, warga Bekasi yang aktif di media sosial.
Kondisi ini membuat banyak orang terjebak dalam informasi yang menyesatkan, bahkan ikut menyebarkannya tanpa sadar.
Perlunya Regulasi dan Teknologi Lawan Teknologi
Sejumlah negara mulai memberlakukan aturan ketat terhadap penggunaan AI untuk konten publik. Di Indonesia, Kominfo berencana memperkuat regulasi dan menambah sistem pendeteksi hoaks berbasis machine learning.
Namun, pengamat menilai bahwa pendekatan hukum dan teknologi saja tidak cukup. Harus ada kolaborasi lintas sektor: media, platform digital, lembaga pendidikan, hingga komunitas lokal.
“Melawan hoaks tidak cukup dengan cek fakta. Kita butuh ekosistem edukasi digital yang menyeluruh dan berkelanjutan,” ujar Rizal.
Tanggung Jawab Platform dan Pengguna
Platform seperti YouTube, Facebook, dan TikTok juga dinilai belum cukup proaktif. Meskipun mereka memiliki fitur pelaporan, deteksi konten AI belum berjalan maksimal dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, para pengguna media sosial didorong untuk lebih kritis, skeptis, dan bertanggung jawab sebelum menyebarkan informasi yang meragukan.