EdTech Semakin Ramai, Tapi Mampukah Benar-Benar Meratakan Akses Pendidikan?
Tanggal: 13 Mei 2025 23:50 wib.
Tampang.com | Dalam beberapa tahun terakhir, platform teknologi pendidikan (EdTech) seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper menjamur di Indonesia. Mereka menjanjikan solusi bagi pendidikan yang lebih modern, terjangkau, dan fleksibel. Namun di balik pertumbuhan pesat sektor ini, muncul pertanyaan: apakah EdTech benar-benar bisa menjangkau semua lapisan masyarakat?
Pendidikan Digital Masih Jadi Privilege Kalangan Tertentu
Sebagian besar layanan EdTech berbasis aplikasi berbayar, memerlukan koneksi internet stabil dan perangkat yang memadai. Di wilayah terpencil dan keluarga berpenghasilan rendah, hal ini masih menjadi tantangan besar.
“Pendidikan digital tanpa akses merata justru memperlebar kesenjangan, bukan mengatasinya,” ujar Rika Mayasari, dosen pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta.
Siswa dari daerah tertinggal seringkali tertinggal dalam hal literasi digital, fasilitas, dan bimbingan. Mereka sulit mengimbangi kemajuan EdTech yang didominasi pengguna di kota-kota besar.
Model Bisnis EdTech Masih Berorientasi Komersial
Sebagian startup EdTech lebih fokus pada pasar yang mampu membayar, seperti siswa di sekolah swasta atau peserta ujian masuk perguruan tinggi. Ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak yang harus dijamin negara.
“Logika pasar dominan di industri EdTech. Kalau tak dibatasi, pendidikan akan jadi soal siapa yang mampu, bukan siapa yang butuh,” tegas Rika.
Padahal, idealnya teknologi pendidikan menjadi penyeimbang untuk menjangkau mereka yang tertinggal, bukan hanya mempercepat bagi yang sudah unggul.
Di Mana Peran Negara dalam Digitalisasi Pendidikan?
Pemerintah memang memiliki program digitalisasi sekolah, tapi belum terintegrasi dengan pelaku EdTech swasta. Tak sedikit sekolah yang punya tablet dari program bantuan, tapi tidak tahu cara memanfaatkannya karena tak ada konten yang sesuai atau pelatihan guru yang memadai.
“Digitalisasi harus menyasar guru dan kurikulum, bukan hanya alat,” tambah Rika.
Tanpa regulasi yang mengatur konten, akses, dan keberpihakan sosial, EdTech berpotensi memperluas ketimpangan sistem pendidikan nasional.
Solusi: Kolaborasi Strategis dan Regulasi Etis
Pemerintah perlu mengatur ekosistem EdTech agar tidak hanya dikuasai pasar. Dibutuhkan kolaborasi antara kementerian, penyedia EdTech, dan sekolah negeri untuk membuat konten gratis, pelatihan guru, dan subsidi akses.
“Teknologi harus dikendalikan untuk tujuan sosial. Kalau tidak, pendidikan digital hanya akan dinikmati segelintir orang,” pungkas Rika.