Dugaan Rp 63 Triliun Kuota Internet Hangus, Benarkah Konsumen Dirugikan? Ini Penjelasan Lengkap ATSI!
Tanggal: 14 Jun 2025 06:18 wib.
Isu kuota internet prabayar yang hangus dan ditaksir mencapai nilai fantastis sebesar Rp 63 triliun memicu kehebohan di masyarakat dan memunculkan berbagai tanggapan, termasuk dari kalangan parlemen. Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) akhirnya angkat bicara untuk memberikan klarifikasi dan menjelaskan duduk perkara dari sisi regulasi serta praktik industri telekomunikasi yang berlaku.
Dalam pernyataan resmi yang diterima CNBC Indonesia pada Jumat, 13 Juni 2025, Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyampaikan bahwa sistem masa aktif dan penggunaan kuota data internet telah dirancang sesuai dengan regulasi nasional yang berlaku, termasuk aturan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kuota Internet Hangus Sesuai Regulasi yang Berlaku
Marwan menjelaskan bahwa ketentuan terkait kuota dan masa aktif layanan prabayar sudah sesuai dengan Pasal 74 Ayat 2 dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan dan tidak bersifat permanen.
Ia juga menambahkan, kebijakan masa aktif ini telah sejalan dengan aturan dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, yang menyatakan bahwa pulsa bukanlah alat pembayaran sah maupun uang elektronik, sehingga tidak masuk dalam kategori instrumen keuangan yang dilindungi untuk dikembalikan.
“Pulsa atau kuota data termasuk barang konsumsi yang telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan oleh karena itu perlakuannya tidak berbeda dengan produk konsumsi lainnya seperti makanan atau tiket hiburan,” ujar Marwan.
Masa Aktif: Praktik Umum di Industri Telekomunikasi Global
Menurut ATSI, pemberlakuan masa aktif dalam paket data internet merupakan hal lumrah dalam dunia telekomunikasi. Berbeda dari layanan utilitas seperti listrik atau saldo tol yang berbasis volume pemakaian, paket data bergantung pada lisensi spektrum frekuensi yang diberikan oleh pemerintah dan hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu.
Marwan menegaskan bahwa pendekatan masa aktif bukanlah kebijakan sepihak, melainkan bentuk pengelolaan layanan berdasarkan kapasitas jaringan dan ketersediaan spektrum. Praktik serupa juga ditemukan di banyak layanan konsumen lainnya seperti tiket transportasi, voucher belanja, hingga keanggotaan gym atau klub.
Bahkan, operator telekomunikasi di luar negeri pun memberlakukan aturan yang sama. Contohnya adalah Kogan Mobile di Australia dan CelcomDigi di Malaysia, di mana kuota internet akan hangus jika tidak digunakan dalam periode yang telah ditentukan. Ini membuktikan bahwa sistem masa aktif adalah bagian dari praktik bisnis global yang lazim dan sah.
Transparansi Jadi Prinsip Utama dalam Pelayanan Operator
Lebih lanjut, ATSI menegaskan komitmen industri terhadap transparansi dan perlindungan konsumen. Seluruh operator anggota ATSI diklaim telah menyampaikan informasi mengenai masa aktif, besar kuota, dan hak-hak pengguna secara terbuka — baik melalui situs resmi maupun saat proses pembelian berlangsung.
Marwan juga menekankan bahwa pengguna diberikan kebebasan untuk memilih paket data sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Operator hanya menyediakan berbagai opsi yang bisa disesuaikan dengan preferensi pengguna, mulai dari masa aktif harian hingga bulanan.
ATSI juga menyatakan siap berdialog dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga legislatif, demi meningkatkan literasi digital masyarakat dan mendorong kebijakan yang adil, seimbang, dan berkelanjutan bagi konsumen serta industri telekomunikasi itu sendiri.
Awal Mula Polemik: Temuan Kerugian Negara Versi DPR
Isu ini mencuat setelah Okta Kumala Dewi, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, mengangkat temuan yang disebut berasal dari Indonesian Audit Watch (IAW). Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa praktik hangusnya kuota internet prabayar bisa menyebabkan kerugian hingga Rp 63 triliun per tahun bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Okta, hilangnya kuota yang telah dibayar oleh konsumen merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan transparansi. Ia menilai bahwa kuota yang sudah dibeli seharusnya menjadi hak penuh pelanggan dan tidak boleh hangus begitu saja tanpa kompensasi.
“Saya sangat prihatin atas temuan ini. Kuota internet yang dibeli adalah hak konsumen yang seharusnya tidak bisa hilang tanpa alasan yang jelas. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi soal keadilan dan tanggung jawab negara dalam melindungi hak rakyatnya,” tegas Okta, seperti dikutip dari Detikcom.
Mendorong Dialog untuk Solusi Bersama
Pernyataan Okta Kumala Dewi menyoroti adanya kesenjangan persepsi antara konsumen dan penyedia layanan, terutama dalam hal hak atas kuota yang belum digunakan. Namun di sisi lain, ATSI menekankan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini sudah mengikuti koridor hukum dan praktik yang telah diadopsi secara luas oleh industri global.
Isu ini menggarisbawahi pentingnya edukasi publik mengenai cara kerja layanan digital, terutama dalam hal prabayar. Dengan adanya dialog terbuka antara operator, pemerintah, dan konsumen, diharapkan muncul solusi yang dapat melindungi hak pengguna sekaligus menjaga kelangsungan dan kesehatan industri telekomunikasi nasional.
Perlu Keseimbangan antara Perlindungan Konsumen dan Realitas Industri
Isu kuota internet hangus hingga Rp 63 triliun memang mengejutkan publik, namun penjelasan dari ATSI menunjukkan bahwa mekanisme tersebut bukan pelanggaran, melainkan bagian dari regulasi dan struktur bisnis yang telah berjalan selama ini.
Meski demikian, kekhawatiran masyarakat tidak boleh diabaikan. Penting bagi seluruh pihak, baik regulator, penyedia layanan, hingga DPR, untuk bersama-sama menciptakan ekosistem digital yang adil, transparan, dan mudah dipahami.
Dengan literasi digital yang lebih kuat dan komunikasi yang terbuka, konsumen akan lebih mampu membuat keputusan cerdas, sementara industri pun bisa terus tumbuh secara berkelanjutan.