Draf RUU Penyiaran Menimbulkan Kekhawatiran Bagi Industri Film

Tanggal: 19 Jun 2024 20:26 wib.
Sineas terkemuka Nia Dinata mempertanyakan dampak dari draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang menuai kontroversi di Indonesia. Menurut Nia, draf RUU Penyiaran dapat menjadi ancaman serius bagi pelaku industri film karena Pasal 34F Ayat (2) mengamanatkan penyelenggara platform digital penyiaran untuk melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran dan standar isi siaran. Hal ini dianggap dapat menghambat kebebasan berekspresi dari sebuah film di ruang digital.

"Saya merasa ini sebagai ancaman bagi saya," ujar Nia dalam sebuah diskusi daring akhir pekan lalu.

Nia menjelaskan bahwa karyanya, yang mayoritas mengangkat isu-isu gender, seringkali dipublikasikan melalui layanan media over the top (OTT) atau platform streaming. Melalui layanan media OTT tersebut, Nia bisa mengekspresikan kebebasan berekspresi melalui karya filmnya.

"Bagi saya, itu sangat membebaskan. Ini bukan hanya bagi saya, namun juga bagi semua sineas Indonesia," tambahnya.

Namun, Pasal 34F Ayat (2) dalam draf RUU Penyiaran menjadi masalah baru bagi para sineas di Indonesia. Kewenangan verifikasi seperti yang diamanatkan dalam pasal tersebut berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.

"Semoga draf tersebut tidak disahkan, dan kita semua dapat terus memperjuangkan hak dan kebebasan berekspresi serta kesetaraan untuk semua," harap Nia.

Tidak hanya Nia Dinata, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, juga menyoroti beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran yang dianggap bertabrakan dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Draf RUU langsung menyentuh pada hak-hak yang diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945 amandemen kedua, terutama kebebasan berekspresi, berbicara, dan menuangkan ekspresi dalam bentuk tulisan, gambar, lisan, dan lainnya," ungkap Ninik.

Ninik juga menyoroti beberapa hal yang menjadi perhatian Dewan Pers, diantaranya adalah upaya untuk membedakan produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi telekomunikasi.

Pada saat yang sama, larangan penayangan jurnalisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran juga dianggap bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU Pers. Larangan tersebut dianggap dapat meredam kemerdekaan pers.

Menurut Ninik, draf RUU Penyiaran bukanlah regulasi pertama yang ingin meredam kebebasan berekspresi dan menghilangkan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Pembatasan-pembatasan serupa juga pernah terjadi pada tahun 2015 saat pemerintahan Presiden Joko Widodo, serta dalam UU Pemilu Tahun 2017 yang ingin membatasi penyiaran hasil pemilu, UU Cipta Kerja, hingga UU KUHP.

"Kami harus menolak hal ini dan pasal-pasal yang merugikan tersebut harus dievaluasi kembali. Kami juga bersiap untuk melakukan judicial review karena KUHP akan mulai berlaku pada tahun 2025," tegas Ninik.

Draf RUU Penyiaran memicu kekhawatiran dalam industri film dan media. Banyak pihak menilai bahwa regulasi yang diusulkan dapat mengurangi kebebasan berekspresi dan merugikan hak-hak pers. Diperlukan kajian mendalam untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran yang direvisi dapat tetap menghormati serta melindungi kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved