Digitalisasi Layanan Publik di Indonesia, Apakah Masyarakat Sudah Siap Menghadapi Perubahan Ini?
Tanggal: 10 Mei 2025 13:44 wib.
Tampang.com | Pemerintah Indonesia semakin agresif mendorong transformasi digital dalam layanan publik. Melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), berbagai layanan seperti pembuatan KTP, pembayaran pajak, hingga pelayanan administrasi desa mulai diintegrasikan ke platform digital. Namun, masih muncul pertanyaan besar: apakah masyarakat Indonesia siap menghadapi digitalisasi total layanan pemerintah?
Kebijakan SPBE dan Tujuan Pemerintah
Melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur SPBE Nasional, pemerintah menargetkan seluruh layanan publik dapat diakses secara digital dan terpadu. Tujuannya adalah meminimalkan birokrasi berbelit, meningkatkan efisiensi anggaran, dan mempercepat akses publik terhadap hak-hak administratif mereka.
“Transformasi digital ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga perubahan pola pikir dan cara kerja birokrasi. Pemerintah ingin menciptakan layanan yang cepat, transparan, dan tanpa pungli,” ujar Dr. Rina Oktaviani, dosen administrasi publik Universitas Indonesia.
Kendala Akses dan Literasi Digital
Meskipun terdengar menjanjikan, implementasi digitalisasi masih menemui berbagai kendala di lapangan. Salah satu tantangan paling nyata adalah ketimpangan akses teknologi antara kota besar dan daerah tertinggal. Banyak warga desa yang belum terbiasa mengakses layanan berbasis aplikasi atau situs web pemerintah.
“Saya mau urus dokumen pindah domisili tapi diminta isi lewat aplikasi. Padahal sinyal internet di desa saya saja sering hilang,” keluh Anto, warga dari Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Literasi digital juga jadi kendala serius. Tak sedikit warga, terutama lansia dan masyarakat berpendidikan rendah, yang kesulitan memahami proses digitalisasi layanan. Alhasil, mereka tetap bergantung pada pihak ketiga atau calo, yang seharusnya dihilangkan dengan sistem digital ini.
Kesiapan Birokrasi dan Sumber Daya Manusia
Selain masyarakat, tantangan besar datang dari internal birokrasi itu sendiri. Banyak aparatur sipil negara (ASN) yang belum siap atau belum memiliki pelatihan memadai untuk menjalankan sistem digital.
“Tidak sedikit pegawai di daerah yang gagap teknologi. Bahkan, banyak yang belum paham bagaimana menginput data layanan ke sistem SPBE. Ini bisa membuat layanan publik malah lambat atau salah input,” ungkap Andi, analis kebijakan publik di Lembaga Riset Kebijakan Indonesia.
Pemerintah memang telah mengadakan pelatihan digital untuk ASN, tetapi distribusinya masih belum merata. Di sisi lain, masih minimnya insentif untuk percepatan transformasi ini membuat semangat perubahan belum sepenuhnya terasa.
Langkah Strategis yang Diperlukan
Agar transformasi digital layanan publik benar-benar membawa dampak positif, perlu langkah strategis yang komprehensif. Pembangunan infrastruktur digital di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), penguatan literasi digital masyarakat, dan pelatihan berkelanjutan bagi ASN adalah hal mendesak.
Dukungan regulasi juga harus diikuti dengan pendekatan yang humanis. Pendampingan langsung di lapangan, layanan offline yang tetap tersedia sebagai opsi sementara, serta simplifikasi antarmuka aplikasi dapat membantu transisi ini berjalan lebih inklusif.
“Digitalisasi harus disertai empati. Jangan sampai warga bingung dan akhirnya terasing dari layanan negara hanya karena belum mampu menyesuaikan diri,” pungkas Dr. Rina.