Sumber foto: iStock

Diblokir Amerika, China Justru Melaju Kencang Kembangkan AI: Ini Strategi Rahasianya!

Tanggal: 1 Jun 2025 09:58 wib.
Di tengah ketegangan geopolitik yang memanas, Amerika Serikat semakin memperketat pembatasan ekspor teknologi canggih, khususnya chip untuk kecerdasan buatan (AI), ke China. Namun, langkah tersebut tampaknya belum berhasil menghambat laju inovasi teknologi Negeri Tirai Bambu. Justru sebaliknya, dua raksasa teknologi China, yakni Tencent dan Baidu, menunjukkan bagaimana mereka tetap melaju bahkan di bawah tekanan embargo.

Keduanya mengungkap strategi cerdas yang mereka terapkan agar tetap mampu berkembang dalam ekosistem AI. Langkah yang mereka tempuh antara lain adalah dengan menimbun chip, mengembangkan model AI yang lebih hemat energi, hingga memaksimalkan penggunaan chip buatan dalam negeri.

Martin Lau, Presiden Tencent, menyampaikan bahwa perusahaannya telah melakukan antisipasi jauh-jauh hari dengan mengamankan pasokan GPU (Graphics Processing Unit)—komponen penting dalam pelatihan model AI berskala besar. GPU dibutuhkan karena AI modern memerlukan kemampuan komputasi tinggi untuk mengolah data dalam jumlah masif.

Menariknya, Tencent tidak sekadar mengandalkan kuantitas chip. Perusahaan ini justru fokus mengoptimalkan performa chip yang mereka miliki. Strategi ini dianggap bertolak belakang dengan anggapan umum di perusahaan-perusahaan AS, yang lebih menekankan pada perluasan kluster GPU agar bisa menciptakan AI yang lebih kompleks.

Tencent justru berhasil meraih hasil pelatihan model AI yang optimal menggunakan kelompok chip yang lebih kecil. Lau menambahkan bahwa perusahaan memanfaatkan pendekatan berbasis perangkat lunak untuk meningkatkan efisiensi proses inferensi (proses di mana AI menjalankan tugas setelah melalui tahap pelatihan). Mereka juga mempertimbangkan penggunaan model AI yang lebih ringkas dan tidak terlalu haus daya komputasi.

Langkah cerdas lainnya adalah dengan mengandalkan chip yang sudah tersedia di dalam negeri. Tencent terus menggali potensi penggunaan chip lokal agar dapat menjawab tantangan keterbatasan ekspor chip dari AS.

Baidu dan Strategi “Tumpukan Penuh”

Sementara itu, Baidu—yang sering dijuluki “Google-nya China”—mengambil pendekatan yang sedikit berbeda. Perusahaan ini mengandalkan kekuatan yang mereka sebut sebagai kapabilitas “tumpukan penuh”. Konsep ini merujuk pada kemampuan mereka mengintegrasikan berbagai lapisan teknologi seperti infrastruktur cloud, model AI, dan aplikasi riil berbasis AI seperti chatbot ERNIE.

Dou Shen, Presiden Cloud AI Baidu, mengatakan bahwa meskipun mereka tidak memiliki akses ke chip AI tercanggih, strategi tumpukan penuh ini tetap memungkinkan mereka membangun aplikasi berbasis AI yang andal dan bermanfaat.

Efisiensi juga menjadi nilai utama Baidu. Mereka terus mengembangkan optimalisasi perangkat lunak agar biaya operasional untuk menjalankan model AI dapat ditekan. Ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya GPU yang ada secara maksimal dan membangun kluster GPU berskala besar secara mandiri.

Shen juga menyoroti pentingnya kemajuan industri chip domestik China dalam mendukung misi ini. Ia optimistis bahwa chip buatan dalam negeri—meskipun belum sekuat chip dari produsen AS—akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan jangka panjang AI di China.

“Chip yang dikembangkan secara mandiri di China, bersama perangkat lunak lokal yang semakin efisien, akan menciptakan pijakan yang kuat bagi inovasi teknologi ke depannya,” ujarnya.

Upaya Mandiri China Lepas dari Ketergantungan

China memang tengah gencar mendorong kemandirian dalam bidang semikonduktor. Pemerintah dan perusahaan teknologi di negara itu berupaya membangun rantai pasokan yang sepenuhnya lokal, dari bahan mentah hingga produk akhir chip.

Gaurav Gupta, analis dari Gartner, menyatakan bahwa strategi penimbunan chip oleh perusahaan-perusahaan China adalah bagian dari upaya mitigasi atas pembatasan ekspor dari AS. Langkah ini disertai pula dengan pengembangan pesat pada sektor industri chip lokal.

Menurut Gupta, berbagai segmen dalam ekosistem semikonduktor China—mulai dari material, alat produksi, desain, manufaktur, hingga pengemasan—telah menunjukkan peningkatan signifikan. Hal ini menjadi bukti bahwa China terus melangkah maju dan menunjukkan keberhasilan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Meski masih belum menyamai kemampuan teknologi AS dalam pembuatan GPU dan chip AI, namun perkembangan yang dicapai China sudah membuka peluang besar bagi kemandirian teknologi di masa mendatang.

Tekanan Balik ke AS

Menariknya, langkah pembatasan yang diterapkan oleh pemerintahan AS justru menuai kritik dari dalam negeri sendiri. Beberapa eksekutif perusahaan teknologi besar AS menilai bahwa pembatasan ini justru berbalik merugikan industri mereka sendiri.

CEO Nvidia, Jensen Huang, secara terang-terangan menyebut bahwa pembatasan tersebut merupakan “kegagalan besar”. Menurutnya, larangan ekspor justru membatasi pertumbuhan pasar perusahaan-perusahaan AS, sementara China tetap bisa berinovasi dengan sumber daya yang mereka miliki.

Huang mengingatkan bahwa industri teknologi global bersifat saling bergantung. Ketika satu pihak mencoba memonopoli atau membatasi teknologi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara sasaran, tetapi juga oleh negara asal kebijakan itu sendiri.

Dengan berbagai strategi alternatif dan semangat inovasi yang tinggi, tampaknya China akan terus melangkah maju di bidang AI, meski dikepung oleh tekanan internasional. Dunia pun kini menunggu: apakah China bisa menjadi pemimpin AI global berikutnya?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved