Sumber foto: NDTV

Dibayangi Tuduhan Berat, CEO Telegram Dilarang ke AS: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Kasus Pavel Durov?

Tanggal: 21 Mei 2025 19:07 wib.
Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO aplikasi pesan populer Telegram, kembali menjadi sorotan internasional. Kali ini, ia dilarang oleh otoritas Prancis untuk melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, yang menurutnya bertujuan untuk melakukan negosiasi pendanaan dengan para investor.

Menurut laporan dari Politico yang dirilis Rabu, 21 Mei 2025, keputusan pelarangan ini diambil oleh Kejaksaan Paris pada 12 Mei 2025. Alasan di balik larangan tersebut adalah bahwa perjalanan Durov ke luar negeri dinilai tidak memiliki urgensi yang cukup untuk diberikan izin. Dengan kata lain, otoritas Prancis menganggap perjalanannya tidak penting, meskipun berkaitan dengan urusan investasi internasional.

Kasus Hukum yang Membelit CEO Telegram

Masalah hukum yang dihadapi Pavel Durov bukanlah hal baru. Ia pertama kali ditangkap oleh otoritas Prancis pada Agustus 2024 saat tiba di salah satu bandara di negara tersebut. Sejak saat itu, ia menjadi subjek pengawasan hukum yang ketat.

Durov tengah menghadapi enam dakwaan serius yang berkaitan dengan aktivitas ilegal yang dituduhkan terjadi melalui aplikasi Telegram. Tuduhan-tuduhan tersebut mencakup pencucian uang, keterlibatan dalam prostitusi, hingga keterkaitan dengan aktivitas terorisme. Aplikasi Telegram, yang dikenal dengan sistem enkripsinya yang kuat dan kebebasan dalam berkomunikasi, memang kerap dikritik karena sering digunakan untuk aktivitas ilegal yang sulit dilacak.

Setelah penangkapannya, Durov tidak ditahan dalam jangka waktu panjang. Ia dibebaskan dengan status bersyarat setelah membayar uang jaminan sebesar 5 juta euro. Namun sebagai bagian dari perjanjian hukum, ia tidak diizinkan meninggalkan wilayah Prancis tanpa izin resmi dari pihak berwenang.

Perjalanan Terbatas dan Status Kewarganegaraan Ganda

Durov yang lahir di Rusia diketahui memiliki kewarganegaraan Prancis dan Uni Emirat Arab (UEA). Ia memang dikenal sering berpindah-pindah negara, khususnya dalam mengembangkan dan mempromosikan Telegram di berbagai kawasan dunia.

Salah satu izin perjalanan yang sempat dikabulkan adalah ketika ia diperbolehkan pergi ke Dubai dari 15 Maret hingga 7 April 2025. Namun, untuk kunjungannya ke AS yang direncanakan berkaitan dengan penggalangan dana, otoritas Prancis memutuskan untuk menolak.

Keputusan ini semakin memperkuat kesan bahwa pemerintah Prancis bersikap sangat hati-hati terhadap pergerakan Durov, mengingat kompleksitas kasus yang sedang dihadapinya serta besarnya pengaruh Telegram sebagai media komunikasi global yang bebas dari sensor.

Ketegangan dengan Pemerintah Prancis

Sejak awal kasus hukumnya mencuat, Durov tak segan mengkritik otoritas Prancis. Baru-baru ini, ia bahkan membuat pernyataan kontroversial yang menuduh pemerintah Prancis, termasuk Nicolas Lerner, kepala badan intelijen luar negeri, telah mencoba menekan Telegram untuk membatasi akses terhadap konten-konten konservatif menjelang pemilu presiden Rumania.

Durov menyatakan bahwa tekanan tersebut datang saat pemungutan suara putaran kedua sedang berlangsung. Tuduhan ini langsung dibantah oleh pemerintah Prancis. Mereka menyebut klaim tersebut tidak berdasar dan menyayangkan tindakan Durov yang dinilai merusak kredibilitas lembaga pemerintahan.

Meski begitu, pernyataan Durov memperkuat narasi yang selama ini ia bangun—bahwa Telegram adalah platform independen yang kebal terhadap sensor politik. Pandangan ini tentu saja menarik simpati dari pengguna Telegram yang percaya pada kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, hal ini juga menambah tekanan terhadap Durov dari berbagai pihak yang menganggap Telegram terlalu longgar dalam mengawasi aktivitas pengguna.

Misteri di Balik Tuduhan: Realita atau Konspirasi?

Apa sebenarnya yang terjadi di balik kasus hukum Pavel Durov masih menjadi misteri besar. Apakah ia benar-benar terlibat dalam praktik ilegal melalui Telegram, atau ini merupakan bentuk tekanan politik terhadap platform komunikasi yang tak bisa dikendalikan negara?

Telegram, dengan lebih dari 800 juta pengguna aktif di seluruh dunia, memang sering dianggap sebagai "wilayah netral" dalam dunia digital—di mana informasi bisa menyebar bebas tanpa sensor pemerintah atau algoritma manipulatif. Hal ini membuat Telegram banyak digunakan, baik oleh aktivis kebebasan, komunitas bisnis, hingga kelompok-kelompok yang tidak ingin diawasi.

Namun netralitas ini pula yang menjadi pedang bermata dua. Telegram sering dijadikan tempat berkumpulnya jaringan kriminal, kelompok radikal, hingga pelaku kejahatan siber. Hal inilah yang menjadi titik tekan utama dalam dakwaan terhadap Durov.

Dalam perspektif hukum, setiap platform digital memiliki tanggung jawab untuk memastikan tidak digunakan sebagai alat kejahatan. Namun dalam praktiknya, mengawasi ratusan juta percakapan terenkripsi bukanlah tugas yang mudah—dan bisa berbenturan dengan nilai-nilai privasi yang dijunjung Telegram sejak awal.

Apa Dampaknya bagi Dunia Teknologi?

Kasus Durov menjadi studi penting bagi masa depan regulasi teknologi global. Apakah pemilik platform digital akan mulai dipaksa bertanggung jawab secara pribadi atas aktivitas di dalam aplikasi mereka? Atau akankah lahir regulasi yang lebih seimbang antara kebebasan digital dan pengawasan keamanan?

Bagi Telegram sendiri, kasus ini bisa menjadi titik balik. Jika tak ditangani dengan baik, kepercayaan pengguna dapat menurun, dan investor pun bisa berpikir ulang. Sebaliknya, jika Durov mampu membuktikan bahwa ia dijadikan kambing hitam dalam konflik geopolitik dan kebijakan privasi digital, maka reputasinya sebagai "pejuang kebebasan informasi" bisa justru menguat.

Hingga kini, pengacara Durov di Prancis belum memberikan komentar atas penolakan izin bepergian ke AS, dan dunia pun masih menanti babak selanjutnya dari drama hukum dan politik yang melibatkan salah satu tokoh paling misterius di dunia teknologi ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved