Sumber foto: iStock

Dibalik Layar TikTok: Denda Rp 9,9 Triliun & Skandal Transfer Data Diam-Diam ke China, Eropa Bertindak Tegas!

Tanggal: 5 Mei 2025 20:41 wib.
TikTok, platform video pendek yang sangat populer di kalangan anak muda, kini kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini bukan karena tren viral atau fitur barunya, melainkan karena pelanggaran serius terhadap aturan perlindungan data pribadi di Uni Eropa. Otoritas Irlandia, sebagai pengawas utama data di kawasan Eropa, menjatuhkan denda fantastis sebesar US$ 601,3 juta atau setara Rp 9,9 triliun kepada TikTok setelah terbukti mengirim data warga Eropa secara diam-diam ke China.

Keputusan ini diumumkan oleh Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC), lembaga yang bertanggung jawab mengawasi kepatuhan perusahaan-perusahaan digital terhadap regulasi data, khususnya General Data Protection Regulation (GDPR) – aturan ketat Uni Eropa dalam melindungi privasi warganya. TikTok dinilai telah melakukan pelanggaran berat karena memindahkan data pribadi pengguna Eropa ke China tanpa mekanisme pelindungan yang memadai.

TikTok Tersandung GDPR: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Menurut DPC, TikTok tidak mampu memberikan jaminan maupun bukti yang cukup bahwa data pengguna Eropa tetap aman saat diakses oleh staf mereka di China. Ini merupakan pelanggaran langsung terhadap GDPR, yang melarang transfer data ke luar Uni Eropa kecuali ada jaminan keamanan yang sepadan dengan standar UE.

Graham Doyle, juru bicara DPC, menjelaskan bahwa kegagalan TikTok dalam menjamin keamanan data menciptakan risiko serius terhadap privasi warga Eropa. Ia menyebut bahwa ada potensi besar bagi pemerintah China untuk mengakses data pengguna Eropa melalui undang-undang anti-terorisme dan mata-mata yang berlaku di negara tersebut, yang jauh berbeda dengan prinsip-prinsip perlindungan data di Eropa.

"Transfer data ini melanggar GDPR karena TikTok tidak bisa menunjukkan bahwa data warga Eropa diberikan perlindungan setara sebagaimana dijamin hukum Uni Eropa," jelas Doyle dalam pernyataan resminya.

TikTok Diberi Tenggat 6 Bulan: Ancaman Pemblokiran Transfer Data Mengintai

Tidak hanya dikenai denda, TikTok juga diberikan batas waktu enam bulan untuk melakukan perubahan menyeluruh terhadap sistem pengelolaan data mereka agar sesuai dengan ketentuan GDPR. Bila dalam waktu tersebut TikTok gagal memenuhi persyaratan, maka transfer data dari Uni Eropa ke China akan dihentikan secara total.

Langkah tegas ini diambil untuk memastikan bahwa data pribadi pengguna tidak disalahgunakan oleh entitas asing, khususnya yang berada di bawah rezim hukum yang berbeda secara fundamental dengan nilai-nilai Uni Eropa.

TikTok Membela Diri: Proyek Clover dan Klaim Kepatuhan

Menanggapi keputusan DPC, pihak TikTok melalui Christine Grahn, Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah TikTok di Eropa, menyatakan bahwa keputusan regulator tidak mempertimbangkan Project Clover—sebuah inisiatif besar senilai US$ 12 miliar yang digagas TikTok untuk meningkatkan pelindungan data pengguna Eropa.

Project Clover bertujuan untuk membangun infrastruktur data di Eropa dan memastikan bahwa kontrol atas informasi pengguna tetap berada di wilayah hukum Uni Eropa. Namun, tampaknya upaya ini belum cukup meyakinkan otoritas Irlandia bahwa praktik TikTok saat ini telah sesuai dengan GDPR.

Perlu diketahui bahwa TikTok pernah secara terbuka mengakui bahwa pegawainya di China memang memiliki akses ke data pengguna global, termasuk dari Eropa dan Amerika. Dalam kebijakan privasi yang dirilis tahun 2022, TikTok menyebutkan bahwa akses tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna secara konsisten dan aman.

Namun, di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 2023, CEO TikTok Shou Zi Chew menyatakan bahwa perusahaannya tidak pernah memberikan data pengguna kepada pemerintah China, serta tidak pernah menerima permintaan resmi untuk membagikannya.

“Kami tidak pernah berbagi data pengguna AS dengan pemerintah China, dan kami juga belum pernah menerima permintaan tersebut,” kata Chew di hadapan parlemen AS.

Ancaman Global Terhadap Privasi Data

Kasus ini memperkuat kekhawatiran global mengenai perlindungan data pengguna yang disimpan dan diproses oleh perusahaan teknologi besar, terutama yang memiliki afiliasi dengan negara-negara yang memiliki aturan ketat soal pengawasan digital. Banyak pihak di Eropa khawatir bahwa data warga mereka bisa digunakan untuk kepentingan politik atau keamanan oleh negara seperti China, yang memiliki undang-undang intelijen yang agresif.

Isu privasi bukan lagi soal etika, melainkan menyangkut kedaulatan digital. Negara-negara di Uni Eropa menunjukkan bahwa mereka tidak akan ragu mengambil tindakan keras terhadap perusahaan yang tidak mematuhi regulasi lokal, termasuk perusahaan sekelas TikTok yang memiliki basis pengguna ratusan juta orang di seluruh dunia.

Apa Dampaknya Bagi Pengguna TikTok di Eropa dan Dunia?

Jika TikTok tidak segera memperbaiki sistem pengelolaan datanya, pengguna di Eropa berpotensi mengalami pembatasan layanan atau penghapusan akun secara massal untuk mematuhi regulasi. Selain itu, reputasi TikTok bisa kembali tercoreng dan menghadapi tekanan serupa di negara-negara lain yang memiliki kekhawatiran serupa, seperti Amerika Serikat dan Australia.

Dampak jangka panjangnya bisa berupa penurunan kepercayaan publik, terutama terhadap cara TikTok menangani data pengguna. Dalam era digital seperti saat ini, privasi adalah aset paling berharga, dan kegagalan menjaga kepercayaan bisa menjadi titik balik yang fatal bagi perusahaan teknologi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved