Sumber foto: Tribuna do Sertão

Diam-Diam Elon Musk Gunakan AI untuk Intai Pegawai Pemerintah AS: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Tanggal: 9 Apr 2025 22:52 wib.
Pemerintahan Amerika Serikat kembali menjadi sorotan, kali ini bukan karena kebijakan tarif atau perang dagang, melainkan karena dugaan penggunaan teknologi pengawasan canggih yang dipimpin oleh sosok kontroversial: Elon Musk. Dalam laporan eksklusif dari Reuters, terungkap bahwa tim khusus yang dikenal sebagai Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE)—dipimpin langsung oleh Musk—menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memonitor aktivitas internal lembaga federal.

Informasi ini mengejutkan banyak pihak. DOGE, yang dibentuk atas mandat Presiden Donald Trump, disebut-sebut sedang melaksanakan tugas rahasia dengan mengawasi komunikasi di dalam lembaga pemerintah, khususnya yang dianggap tidak sejalan dengan agenda Trump. Salah satu lembaga yang menjadi target utama pengawasan adalah Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan AS.

Dua narasumber yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan kepada Reuters bahwa teknologi AI diterapkan secara khusus untuk membaca pola komunikasi digital—termasuk dalam aplikasi kerja seperti Microsoft Teams—dengan fokus pada pencarian kata-kata atau ekspresi yang mengandung kritik terhadap Presiden Trump maupun Elon Musk sendiri. Langkah ini, menurut sumber tersebut, dilakukan sebagai bagian dari upaya efisiensi dan reformasi birokrasi, namun menimbulkan kekhawatiran serius terhadap privasi dan etika kerja lembaga negara.

Para manajer EPA bahkan disebut telah menerima pemberitahuan resmi mengenai penggunaan sistem pengawasan AI oleh tim DOGE. Salah satu teknologi yang turut digunakan dalam misi ini adalah Grok, chatbot berbasis AI yang juga dikembangkan oleh perusahaan milik Musk. Grok disebut menjadi asisten digital internal DOGE, membantu proses evaluasi dan efisiensi kerja dengan menelaah berbagai bentuk komunikasi digital.

Namun, aspek yang paling kontroversial datang dari penggunaan aplikasi komunikasi terenkripsi seperti Signal oleh tim DOGE. Signal terkenal karena fitur keamanannya, termasuk pesan yang bisa diatur otomatis untuk terhapus setelah beberapa waktu. Praktik ini dinilai bertentangan dengan aturan penyimpanan catatan federal, yang mengharuskan semua bentuk komunikasi resmi pemerintah didokumentasikan dan dapat diakses kembali bila diperlukan.

Seorang ahli etika pemerintah dari Universitas Washington, Kathleen Clark, menyoroti penggunaan Signal ini sebagai potensi pelanggaran hukum. Ia menegaskan bahwa setiap komunikasi yang tidak diarsipkan sebagaimana mestinya dapat dianggap melanggar undang-undang federal, terutama jika digunakan dalam konteks kebijakan pemerintahan yang penting.


"Jika mereka menggunakan Signal dan tidak mencadangkan pesan-pesan tersebut ke dalam arsip federal, maka itu sudah bertentangan dengan hukum," jelas Clark.


Sementara itu, Elon Musk—yang selama ini dikenal sebagai pionir teknologi melalui perusahaannya seperti Tesla, SpaceX, dan Neuralink—dikabarkan memang telah lama mendorong penggunaan AI untuk menggantikan sebagian besar pekerjaan administratif di lembaga pemerintah. Visi Musk adalah menciptakan sistem berbasis AI yang mampu menangani data besar dan tugas birokrasi dengan efisien, cepat, dan bebas dari kepentingan politik internal.

Namun, implementasi ambisius ini jelas tidak datang tanpa kritik. Penggunaan AI sebagai alat pengawasan dalam instansi pemerintahan menimbulkan pertanyaan besar tentang batas etika teknologi, potensi penyalahgunaan kekuasaan, serta ancaman terhadap kebebasan berbicara dan opini dalam struktur negara demokratis.

Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pihak Gedung Putih maupun dari Elon Musk sendiri mengenai skala penggunaan AI ini, laporan dari Reuters telah cukup membuat masyarakat sipil dan para pengamat kebijakan teknologi mulai menyoroti dampak jangka panjang dari kolaborasi antara teknologi dan kekuasaan.

Beberapa kalangan bahkan menyamakan situasi ini dengan “pengawasan digital ala negara otoriter,” meski dijalankan di negara yang mengusung demokrasi. Apalagi, fakta bahwa teknologi dipakai untuk mencari ekspresi yang dianggap “memusuhi” figur tertentu, menimbulkan kekhawatiran bahwa ini bisa menjadi alat represi terselubung.

Selain itu, langkah DOGE memantau aplikasi internal seperti Microsoft Teams, serta potensi integrasi Grok dalam proses pemangkasan birokrasi, membuka perdebatan lebih luas mengenai transparansi kebijakan efisiensi. Apakah ini benar-benar langkah menuju reformasi? Ataukah justru merupakan bentuk sentralisasi kendali yang dikamuflase sebagai inovasi teknologi?

Tak dapat dimungkiri bahwa penerapan teknologi, khususnya AI, dalam sektor pemerintahan memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan efisiensi, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengurangi korupsi. Namun ketika alat canggih itu digunakan untuk mengawasi dan menilai loyalitas pegawai, garis batas antara efisiensi dan pelanggaran hak sipil menjadi kabur.

Kejadian ini juga menunjukkan bahwa dalam era digital seperti sekarang, kekuatan informasi tidak hanya terletak pada apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana teknologi membaca, menyimpan, dan memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Apakah ini awal dari era "AI Surveillance Government"? Atau justru akan memicu gelombang resistensi dari kalangan sipil dan LSM?

Yang jelas, publik kini dihadapkan pada dilema besar: antara menerima teknologi sebagai solusi birokrasi atau menolak pengawasan digital yang merusak fondasi demokrasi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved