Data Center AI Lapar Listrik: Akankah Amerika Hadapi Krisis Energi Digital
Tanggal: 26 Apr 2025 15:37 wib.
Tampang.com | Amerika Serikat kini menghadapi tantangan besar dalam sektor energinya. Seiring lonjakan permintaan daya dari pusat data (data center) milik perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, infrastruktur kelistrikan nasional mulai menunjukkan tanda-tanda kewalahan. Fenomena ini dipicu oleh semakin masifnya penggunaan kecerdasan buatan (AI), yang membutuhkan komputasi intensif dan, tentu saja, pasokan listrik dalam jumlah besar.
Laporan eksklusif dari Reuters menyebutkan bahwa sebagian besar dari 13 perusahaan penyedia listrik terbesar di Amerika telah menerima permintaan pasokan daya yang jauh melebihi kapasitas eksisting mereka. Fakta mengejutkan lainnya adalah permintaan energi dari sektor data center berbasis AI bahkan kini melampaui kebutuhan listrik gabungan dari sektor rumah tangga dan perkantoran.
Kondisi ini menempatkan para penyedia listrik pada posisi yang sulit. Mereka harus membuat keputusan investasi dalam waktu dekat: apakah akan menyuntikkan dana miliaran dolar Amerika untuk membangun infrastruktur energi baru, atau memilih untuk menahan laju ekspansi dan berisiko tak mampu memenuhi kebutuhan masa depan. Menurut laporan, perusahaan listrik di AS bahkan telah menggelontorkan anggaran modal yang nilainya dua kali lipat dari total rencana investasi mereka untuk lima tahun mendatang — hanya untuk tahun ini saja.
Namun, keputusan untuk berinvestasi besar-besaran bukan tanpa risiko. Jika permintaan listrik dari data center terus melambung dan tak bisa segera diimbangi dengan peningkatan kapasitas, maka risiko pemadaman bisa saja terjadi. Sebaliknya, jika pembangunan infrastruktur dilakukan terlalu agresif tanpa permintaan nyata yang terserap, konsumen rumah tangga dan pelaku usaha biasa kemungkinan besar akan menanggung beban berupa kenaikan tarif listrik.
Situasi menjadi semakin kompleks ketika diketahui bahwa perusahaan teknologi sering kali mengajukan permintaan listrik secara bersamaan ke beberapa penyedia. Hal ini memicu sistem lelang proyek yang membuat proyeksi kebutuhan semakin bias dan sulit diprediksi.
Menurut Jon Gordon dari Advanced Energy United, banyak proyek data center yang masih bersifat spekulatif. Proyek-proyek ini sering kali belum memiliki kejelasan bentuk atau realisasi, tetapi sudah mengajukan klaim kebutuhan energi dalam jumlah sangat besar. Ketertutupan informasi menjadi masalah utama yang menyulitkan pihak penyedia energi dalam menyusun estimasi kebutuhan jangka panjang.
Sebagai contoh konkret, Oncor Electric — salah satu perusahaan utilitas besar di Texas — menerima permintaan listrik hingga 119 gigawatt (GW) untuk kebutuhan data center. Angka ini mencengangkan, mengingat kapasitas maksimal Oncor saat ini hanya seperempat dari angka tersebut. Di wilayah lain, Allentown juga menghadapi tantangan serupa: permintaan mencapai 50 GW, padahal kapasitas aktual mereka hanya 7,2 GW.
Menanggapi ketidakpastian tersebut, Oncor memutuskan hanya akan membangun infrastruktur jika pihak pemohon, dalam hal ini perusahaan data center, mampu menunjukkan letter of credit atau menyetor dana tunai terlebih dahulu. Pendekatan ini diambil untuk meminimalisasi risiko investasi yang tak terserap atau pembatalan proyek sepihak.
Namun, di sisi lain, perusahaan teknologi pun tak dalam posisi aman. Meskipun mereka berambisi membangun pusat data raksasa guna menopang era AI, kondisi ekonomi global yang tidak stabil menjadi hambatan baru. Naiknya suku bunga dan biaya konstruksi membuat pembangunan data center menjadi lebih mahal dan berisiko tinggi. Ada pula kekhawatiran bahwa generasi AI mendatang tidak akan memerlukan daya komputasi sebesar sekarang, sehingga infrastruktur listrik raksasa bisa saja menjadi mubazir.
Contoh menarik datang dari Tiongkok, di mana perusahaan teknologi DeepSeek tengah mengembangkan model AI yang lebih hemat energi. Model ini diklaim mampu beroperasi dengan daya komputasi yang lebih kecil tanpa mengorbankan performa. Jika pendekatan ini berhasil, maka kebutuhan listrik data center bisa menurun drastis dalam waktu dekat.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana transformasi digital berbasis AI telah memicu efek domino yang signifikan pada sektor energi. Ketika inovasi teknologi berjalan begitu cepat, infrastruktur fisik yang menopangnya justru menghadapi tantangan kapasitas dan keberlanjutan. Apakah ini akan memicu reformasi besar dalam strategi energi nasional Amerika Serikat? Atau justru menjadi sinyal awal dari krisis energi digital di masa depan?
Yang jelas, baik perusahaan listrik maupun raksasa teknologi kini berada di persimpangan jalan penting. Di satu sisi, ada potensi pasar dan peluang besar dari perkembangan AI. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi dan teknologi dapat membuat investasi jangka panjang menjadi langkah yang berisiko.