Sumber foto: iStock

Dari PHK ke Pundi-Pundi Cuan: Kenapa Jadi Influencer Kini Lebih Menjanjikan dari Pekerjaan Kantoran?

Tanggal: 30 Jun 2025 22:16 wib.
Di tengah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) secara global, sebuah profesi yang dulu sering diremehkan justru melejit menjadi sorotan utama. Ya, profesi influencer digital kini menjadi pilihan karier yang menjanjikan, bahkan di saat dunia kerja konvensional tengah mengalami krisis.

Ketika banyak perusahaan mengurangi karyawan dan memotong biaya pemasaran tradisional, influencer justru muncul sebagai pahlawan baru dalam dunia bisnis dan pemasaran digital. Perubahan besar dalam perilaku konsumen dan tren media sosial menjadikan para konten kreator ini sebagai elemen kunci dalam strategi komunikasi merek.

Salah satu contohnya adalah Ashton Hall, seorang influencer di bidang kebugaran. Popularitasnya melonjak drastis setelah mengunggah video rutinitas pagi yang unik: mencelupkan kepalanya ke dalam air mineral dingin merek Saratoga. Awalnya ia sama sekali tidak terikat kerja sama dengan brand tersebut. Namun, videonya yang viral sukses mendongkrak nama Saratoga di dunia maya. Bahkan, CEO dari Primo Brands, pemilik merek itu, menyampaikan ucapan terima kasih secara langsung dalam laporan keuangan perusahaan.

Hal ini menggambarkan seberapa besar kekuatan seorang influencer dalam membentuk persepsi publik dan memengaruhi keputusan pembelian, bahkan tanpa ikatan formal dengan brand.

Influencer: Dari Orang Biasa ke Agen Perubahan Tren

Menariknya, banyak influencer bukan berasal dari kalangan selebritas. Mereka hanyalah orang biasa yang berhasil membangun koneksi emosional dengan audiens melalui konten yang relatable, jujur, dan apa adanya. Inilah nilai tambah utama influencer: mereka dianggap lebih autentik dan dipercaya oleh pengikutnya dibandingkan iklan perusahaan yang sering kali dianggap terlalu formal atau manipulatif.

Contoh lainnya datang dari brand besar seperti Coach, Dove, dan Hellmann's, yang secara aktif menggandeng influencer sebagai ujung tombak promosi mereka. Salah satu tren yang sempat viral adalah tas Coach dengan hiasan ceri atau pretzel di TikTok. Popularitasnya di kalangan Gen Z mendorong lonjakan penjualan secara signifikan.

Platform seperti TikTok menjadi ladang subur untuk pemasaran kreatif. Berkat algoritma yang kuat dan kemampuan menjangkau audiens luas, TikTok kini menjadi kanal utama untuk promosi produk, terutama di kalangan anak muda.

Angka Tak Pernah Bohong: Influencer Marketing Terus Tumbuh

Data dari Statista menunjukkan bahwa industri pemasaran influencer secara global diperkirakan tumbuh 36% tahun ini, dengan nilai mencapai US$33 miliar atau setara Rp540 triliun. Pertumbuhan ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi menunjukkan adanya pergeseran besar dalam cara perusahaan membelanjakan dana promosi.

Laporan dari Deloitte mengungkapkan bahwa belanja merek terhadap konten kreator naik hingga 49% secara global tahun lalu. Bahkan, sekitar 25% anggaran media sosial kini secara khusus dialokasikan untuk para influencer.

Menurut Kenny Gold dari Deloitte Digital, tren ini semakin menonjol karena banyak brand mulai menahan pengeluaran untuk iklan konvensional dan lebih memilih pendekatan yang lebih organik dan personal lewat konten influencer.

Kate Scott-Dawkins dari WPP bahkan memperkirakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendapatan dari konten buatan pengguna (user-generated content) akan melampaui konten profesional tahun ini.

Influencer Jadi Pusat Strategi, Bukan Sekadar Pelengkap

Pandangan tentang influencer pun berubah. Mereka kini bukan lagi pelengkap kampanye, melainkan pusat dari strategi pemasaran modern. Hal ini ditegaskan oleh Oliver Lewis, CEO agensi kreatif The Fifth, yang menyebut bahwa kehadiran influencer telah menggeser pusat gravitasi pemasaran dari iklan korporat ke narasi personal.

Perusahaan besar seperti Unilever pun mengikuti arus ini. CEO mereka, Fernando Fernandez, mengumumkan rencana untuk merekrut influencer 20 kali lebih banyak dari sebelumnya. Selain itu, Unilever meningkatkan alokasi anggaran untuk iklan media sosial hingga 50%, sebagai respons terhadap perubahan cara konsumen dalam mempersepsi merek.

Menurut Fernandez, konsumen kini cenderung lebih curiga terhadap pesan branding dari korporasi. Oleh karena itu, mereka lebih memilih mendengar langsung dari “suara manusia”—influencer yang mereka percaya dan ikuti.

Hemat, Fleksibel, Tapi Tak Bebas Risiko

Salah satu keunggulan utama dari strategi pemasaran berbasis influencer adalah efisiensi biaya. Berbeda dengan iklan TV atau billboard yang mahal dan sulit diubah, kampanye influencer dapat dimodifikasi secara cepat sesuai feedback dari audiens. Fleksibilitas ini sangat penting di era digital yang bergerak cepat.

Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya bebas risiko. Perusahaan tetap harus berhati-hati dalam memilih figur publik yang mereka gandeng. Kasus Adidas dan Kanye West, misalnya, menjadi pelajaran penting bahwa kontroversi dari satu influencer bisa berdampak besar terhadap reputasi brand.

Era Baru: Influencer AI, Tapi Keaslian Masih Jadi Kunci

Seiring perkembangan teknologi, kini mulai muncul tren influencer buatan berbasis AI. Keunggulannya? Bisa dikendalikan sepenuhnya dan tidak membawa risiko skandal pribadi. Namun, para ahli percaya bahwa manusia tetap memiliki keunggulan utama: emosi dan keaslian.

“Orang lebih percaya orang dibandingkan merek,” ungkap Rahul Titus dari Ogilvy. Meskipun AI mulai dilirik sebagai solusi, daya tarik personal dari manusia nyata masih menjadi nilai yang sulit tergantikan.

Menurut Oliver Lewis, masa depan pemasaran kini berada di titik peralihan. Influencer yang dulunya dianggap hanya bagian kecil dari strategi kini menjadi inti dari komunikasi merek modern.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved