Dari Celupan Kepala ke Miliaran Rupiah: Bagaimana Influencer Menjadi Senjata Utama Brand Global
Tanggal: 20 Jun 2025 14:01 wib.
Di tengah krisis ekonomi global dan pemotongan anggaran iklan tradisional, profesi sebagai influencer media sosial justru menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Jika dulu hanya artis papan atas yang dianggap layak mewakili brand besar, kini siapa pun yang memiliki pengaruh di dunia digital bisa berubah menjadi mesin penggerak penjualan bagi perusahaan global.
Salah satu contohnya adalah Ashton Hall, seorang influencer kebugaran yang mendadak viral setelah mengunggah video rutinitas paginya, yakni mencelupkan kepala ke dalam air es merek Saratoga. Aksi sederhana namun autentik ini ternyata memberikan dampak luar biasa terhadap popularitas merek tersebut. Padahal, awalnya Hall tidak memiliki kerja sama resmi dengan Saratoga.
Respons dari pihak perusahaan pun sangat positif. CEO dari Primo Brands, perusahaan pemilik Saratoga, bahkan secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hall dalam pertemuan laporan pendapatan kuartalan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh influencer dalam dunia pemasaran kini bukan lagi tren sesaat, tetapi telah menjadi strategi utama dalam menarik konsumen.
Influencer: Pilar Baru Dunia Pemasaran
Apa yang dialami Saratoga ternyata bukan kasus tunggal. Sejumlah brand besar dunia seperti Coach, Dove, dan Hellmann’s kini menjadikan influencer sebagai ujung tombak promosi mereka. TikTok menjadi ladang subur, di mana produk-produk seperti tas Coach dengan motif ceri atau pretzel mendadak menjadi tren di kalangan Gen Z, yang kemudian mendorong lonjakan penjualan signifikan.
Menurut data dari Statista, industri pemasaran berbasis influencer diproyeksikan tumbuh sebesar 36% pada tahun 2025, dengan total nilai mencapai 33 miliar dolar AS atau sekitar Rp540 triliun. Sementara itu, laporan dari Deloitte menyebutkan bahwa belanja iklan terhadap konten kreator naik hampir 49% secara global dalam satu tahun terakhir.
Dari Pelengkap Menjadi Strategi Utama
Bagi banyak perusahaan, pendekatan influencer bukan lagi pelengkap strategi pemasaran, melainkan menjadi komponen inti. Hal ini diungkapkan oleh Kenny Gold dari Deloitte Digital yang menyatakan bahwa justru saat anggaran iklan tradisional dipangkas, ekonomi kreator digital justru melesat. Ini karena brand menyadari bahwa mereka bisa menjangkau konsumen lebih efektif melalui pendekatan yang lebih personal.
Hal senada disampaikan oleh Kate Scott-Dawkins dari WPP, yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendapatan iklan dari konten buatan pengguna akan melampaui konten profesional. Ini merupakan titik balik penting dalam dunia periklanan global.
Salah satu perusahaan besar yang ikut dalam arus ini adalah Unilever. CEO mereka, Fernando Fernandez, menyatakan bahwa perusahaannya kini merekrut influencer 20 kali lebih banyak daripada sebelumnya. Selain itu, Unilever juga meningkatkan alokasi belanja iklan di media sosial hingga 50%, karena konsumen semakin skeptis terhadap pesan korporat yang terdengar terlalu formal dan tidak personal.
Lebih Murah, Lebih Fleksibel, Lebih Efektif
CEO Oliver Lewis dari agensi The Fifth yang kini berada di bawah Brave Bison menegaskan bahwa influencer bukan hanya alat promosi alternatif, tetapi pusat dari strategi pemasaran modern. Kampanye yang melibatkan influencer cenderung lebih hemat biaya dibandingkan iklan di televisi atau billboard. Selain itu, pendekatan ini jauh lebih adaptif. Brand bisa dengan cepat mengganti pesan atau mengganti influencer sesuai respons dari audiens.
Namun, pendekatan ini juga bukan tanpa risiko. Kasus antara Adidas dan Kanye West jadi pengingat bahwa kerja sama dengan figur publik tetap memiliki potensi dampak reputasi negatif, terutama jika kontroversi muncul di media sosial.
Munculnya Influencer Buatan AI
Untuk mengurangi risiko reputasi, beberapa perusahaan kini mulai melirik influencer buatan AI. Model ini menawarkan keunggulan berupa kontrol penuh terhadap perilaku dan narasi, tanpa kekhawatiran akan skandal atau tindakan yang tidak sesuai nilai perusahaan.
Meskipun demikian, banyak pakar menyatakan bahwa influencer manusia tetap memiliki daya tarik lebih kuat karena dianggap lebih autentik dan relatable. Seperti yang disampaikan Rahul Titus dari Ogilvy, “Orang lebih mempercayai orang lain daripada mempercayai merek.”
Masa Depan Ekonomi Kreator
Pertumbuhan profesi influencer saat ini menunjukkan arah yang jelas bahwa ekonomi kreator bukan sekadar tren sesaat. Namun demikian, arah masa depannya masih terbuka lebar, tergantung pada bagaimana platform, teknologi, dan preferensi konsumen akan berkembang.
Oliver Lewis menyimpulkan bahwa peran influencer, yang dulu dianggap terpisah dari strategi komunikasi utama perusahaan, kini telah menjadi pusat perhatian. Bahkan, banyak brand menyesuaikan keseluruhan narasi pemasaran mereka berdasarkan konten yang viral di media sosial.
Dalam dunia yang makin digital dan konsumen yang makin selektif, tampaknya para influencer—baik manusia maupun buatan—akan terus menjadi pemain kunci dalam peta pemasaran global. Dan bagi siapa pun yang punya kreativitas dan audiens setia, peluang menjadi "wajah baru" dari sebuah brand besar kini lebih terbuka lebar dari sebelumnya.