Sumber foto: iStock

China vs AS: Perlombaan Sengit Menciptakan Energi Fusi Nuklir Skala Jaringan Pertama!

Tanggal: 19 Mar 2025 20:40 wib.
Persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas, terutama dalam beberapa sektor penting seperti teknologi chip AI, kendaraan listrik, e-commerce, dan sumber energi. Salah satu arena paling menarik perhatian saat ini adalah perlombaan untuk menciptakan energi fusi nuklir skala jaringan pertama. Setelah beberapa dekade dominasi oleh AS, kini Tiongkok berupaya mengejar ketertinggalan dengan menggelontorkan dana yang jauh lebih besar dan membangun proyek-proyek dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Fusi nuklir sering kali disebut sebagai "cawan suci" sumber energi bersih. Hal ini karena fusi menghasilkan empat kali lebih banyak energi per kilogram bahan bakar dibandingkan dengan fisi nuklir konvensional. Selain itu, fusi nuklir berpotensi memproduksi energi yang sembilan juta kali lebih tinggi daripada pembakaran batu bara, semua ini tanpa menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah radioaktif jangka panjang.

Energi yang dihasilkan dari fusi nuklir ini diyakini akan sangat penting dalam mendukung perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), yang sangat bergantung pada pasokan listrik dalam jumlah besar dan berkapasitas tinggi. Menurut laporan yang dikutip dari CNBC Internasional, diperkirakan bahwa pasar untuk energi fusi nuklir bisa mencapai nilai US$1 triliun pada tahun 2050.

Namun, meski harapan untuk dapat mengendalikan dan memanfaatkan fusi nuklir tinggi, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi. Dennis Whyte, seorang profesor ilmu dan teknik nuklir di Massachusetts Institute of Technology (MIT), menegaskan bahwa saat ini, satu-satunya pembangkit listrik tenaga fusi yang berfungsi secara alami adalah bintang, seperti matahari kita.

AS sebelumnya menjadi negara pertama yang berhasil memanfaatkan fusi dalam skala besar dengan uji coba bom hidrogen yang dilakukan pada tahun 1952. Selama tujuh dekade terakhir, para ilmuwan di seluruh dunia telah berupaya untuk mengubah reaksi fusi menjadi sumber listrik yang dapat dimanfaatkan secara luas. Proses fusi terjadi ketika atom hidrogen mencapai suhu ekstrem dan akhirnya bergabung menjadi plasma super panas. Energi yang dilepaskan selama proses ini, secara teori, dapat diubah menjadi energi dalam jumlah besar. Namun, tantangan besar dalam proses ini adalah mengendalikan plasma.

Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengatasi tantangan pengendalian plasma. Metode yang cukup populer menggunakan magnet kuat untuk menahan plasma di dalam alat bernama tokamak yang memiliki bentuk menyerupai donat logam. Selain itu, teknik lain yang digunakan adalah dengan menggunakan laser berenergi tinggi yang diarahkan ke pelet bahan bakar seukuran butiran merica, yang kemudian dipampatkan dan meledak secara cepat.

Salah satu pencapaian terbesar AS dalam penelitian fusi terjadi pada tahun 2022 di Lawrence Livermore National Ignition Facility (NIF), di mana percobaan penyalaan fusi pertama yang berhasil menghasilkan energi positif bersih sukses dilakukan. Sejak saat itu, terjadi lonjakan investasi swasta di perusahaan rintisan fusi di AS, yang kini mencapai angka US$8 miliar, meningkat signifikan dari hanya US$1,2 miliar pada tahun 2021. Dari total 40 perusahaan anggota Fusion Industry Association (FIA), sekitar 25 di antaranya berlokasi di AS.

Sementara itu, Tiongkok tidak tinggal diam. Proyek-proyek energi fusi baru terus dikembangkan di negara tersebut, pada saat AS lebih terfokus pada peningkatan mesin-mesin fusi yang sudah ada, yang banyak di antaranya telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun. Binderbauer, dari TAE, menyoroti bahwa para ilmuwan lebih tertarik untuk mengerjakan proyek baru yang menjanjikan, daripada memperbaiki mesin tua yang dianggap sebagai "dinosaurus."

Situasi ini semakin diperburuk oleh pemotongan anggaran untuk penelitian fusi di AS selama awal tahun 2000-an, yang memaksa banyak universitas untuk menghentikan pengembangan mesin fusi baru. Akibatnya, banyak peneliti AS beralih untuk berkolaborasi dengan Tiongkok dalam pembangunan fasilitas-fasilitas baru, dalam harapan bahwa hal tersebut akan berujung pada kemajuan teknologi yang lebih baik.

Bob Mumgaard, salah satu pendiri dan CEO Commonwealth Fusion Systems, mengakui bahwa keputusan tersebut adalah kesalahan besar. Kini, Tiongkok telah memegang sejumlah besar paten terkait fusi nuklir dan memiliki sepuluh kali lebih banyak doktor di bidang ilmu dan teknik fusi dibandingkan dengan AS.

Hal ini menandakan bahwa Tiongkok mulai mendominasi bidang penelitian dan pengembangan energi fusi, yang tidak hanya akan memberikan keuntungan bagi negara mereka, tetapi juga memperkuat posisi Tiongkok dalam persaingan global. Jika tren ini terus berlanjut, maka bisa saja Tiongkok tidak hanya mengejar ketertinggalan, tetapi juga melampaui AS dalam pencapaian teknologi energi bersih yang revolusioner ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved