China Guncang Dominasi AI Amerika: Apakah Era Kejayaan Teknologi AS Sudah Berakhir?
Tanggal: 10 Apr 2025 20:17 wib.
Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang mendominasi panggung kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) global. Mulai dari kemunculan ChatGPT oleh OpenAI, hingga keterlibatan raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan xAI milik Elon Musk, AS selalu berada di garis depan dalam revolusi AI. Namun, peta kekuatan global AI mulai berubah drastis.
Sebuah laporan terbaru dari Institute for Human-Centered Artificial Intelligence (HAI) Universitas Stanford mengungkapkan perubahan mencolok dalam lanskap AI dunia. Meski perusahaan asal AS seperti OpenAI dan Google masih berada di posisi terdepan dalam pengembangan model AI, kebangkitan pesat dari China menjadi sorotan utama dalam laporan tersebut.
Salah satu penyebab utama pergeseran ini adalah munculnya DeepSeek R1, model AI asal China yang dirilis awal tahun ini. Keunggulan performa R1 membuatnya langsung menempati posisi elite, bersaing langsung dengan model dari perusahaan teknologi raksasa AS. Bahkan, kehadiran R1 mengguncang pasar saham global, menunjukkan bahwa dominasi Amerika dalam AI tidak lagi mutlak.
China Meningkat Pesat: Dari Ketinggalan Menjadi Ancaman Serius
Menurut laporan tersebut, perusahaan-perusahaan asal China berhasil menyempitkan kesenjangan performa AI dengan sangat cepat. Model-model AI buatan China kini mampu bersaing dengan produk-produk unggulan asal Amerika dalam berbagai aspek teknis.
Vanessa Parli, direktur penelitian di HAI, menyatakan bahwa model-model AI dari China menunjukkan kemajuan signifikan dan cepat. “Model-model asal China benar-benar mengejar ketertinggalan. Bahkan, kini kita melihat banyak pemain baru yang mulai bermunculan dari berbagai belahan dunia,” ujarnya, dikutip dari Wired.
Fakta menarik lainnya, meskipun AS saat ini masih unggul dalam jumlah model AI yang dikembangkan—yakni 40 model dibanding 15 model dari China—China justru mengungguli AS dalam jumlah publikasi ilmiah dan paten terkait AI. Artinya, riset dan inovasi di bidang AI di Negeri Tirai Bambu tengah mengalami percepatan yang luar biasa.
Dunia Tak Lagi Dua Poros: Pemain Baru Muncul di Panggung AI Global
Selain dua raksasa—AS dan China—wilayah lain juga mulai unjuk gigi dalam pengembangan teknologi AI. Eropa, misalnya, telah menciptakan setidaknya tiga model AI kompetitif. Bahkan, perkembangan AI mulai terasa di kawasan Timur Tengah, Amerika Latin, hingga Asia Tenggara. Fakta ini menunjukkan bahwa era dominasi teknologi oleh satu atau dua negara mulai bergeser ke arah kompetisi global yang lebih merata.
Salah satu tren menarik yang turut mempercepat adopsi dan kolaborasi adalah berkembangnya model open weight. Model-model ini memungkinkan siapa saja untuk mengunduh dan memodifikasi sistem AI secara gratis. Meta dengan model LLaMA-nya menjadi contoh dari pendekatan terbuka ini, begitu juga dengan DeepSeek dan Mistral asal Prancis yang mengusung prinsip serupa.
Tidak ingin tertinggal, OpenAI juga menyatakan bahwa mereka akan merilis model berbasis open-source pada pertengahan tahun ini. Langkah ini dinilai sebagai upaya strategis untuk tetap relevan dan kompetitif di tengah maraknya tren keterbukaan model AI.
Open vs Closed: Kesenjangan Semakin Tipis
Jika sebelumnya model AI berbasis open-source dianggap memiliki kualitas jauh di bawah model tertutup (closed-source), kini anggapan itu mulai berubah. Laporan dari Stanford menunjukkan bahwa kesenjangan performa antara kedua jenis model ini mulai menipis secara signifikan.
Pada tahun lalu, perbedaan kualitas antara open-source dan closed-source AI mencapai 8%. Namun saat ini, kesenjangannya hanya tinggal 1,7%, menunjukkan peningkatan besar dalam kualitas model terbuka. Meski mayoritas model AI saat ini masih bersifat tertutup—sekitar 60,7%—tren ini diperkirakan akan terus berubah.
Model open-source yang semakin kuat memungkinkan komunitas global ikut serta dalam pengembangan dan perbaikan sistem AI. Hal ini berpotensi mempercepat inovasi, mendorong kolaborasi internasional, dan mendemokratisasi akses terhadap teknologi AI.
Apakah AS Akan Kehilangan Tahta Teknologi?
Kemunculan DeepSeek dan kemajuan pesat China menimbulkan pertanyaan besar: apakah Amerika akan kehilangan dominasinya di dunia AI? Dengan ekosistem teknologi yang makin kompetitif secara global, negara-negara lain kini memiliki peluang yang lebih besar untuk menyaingi raksasa-raksasa lama.
Meskipun AS masih unggul dalam hal ekosistem startup dan infrastruktur digital, negara-negara seperti China, Prancis, hingga Uni Emirat Arab mulai menyusul dengan pendekatan yang agresif dan inovatif. Bahkan, beberapa negara di Asia Tenggara pun mulai menunjukkan geliat serius dalam pengembangan teknologi AI lokal.
Kesimpulan: Era Baru AI Telah Dimulai
Pergeseran dominasi dalam dunia kecerdasan buatan bukanlah hal yang bisa diabaikan. Perubahan ini mencerminkan dinamika global yang semakin inklusif dan kompetitif. Dunia tidak lagi bergantung hanya pada satu negara atau satu perusahaan untuk memimpin inovasi AI.
China, dengan sumber daya dan strategi yang terfokus, telah membuktikan bahwa mereka mampu mengejar—dan bahkan menyaingi—raksasa-raksasa teknologi dari Amerika. Sementara itu, pendekatan open-source dan kolaborasi global menjadi jembatan baru menuju masa depan AI yang lebih merata.
Kini, tantangannya bukan hanya pada siapa yang tercepat, tetapi juga siapa yang paling adaptif dan visioner dalam membentuk masa depan AI.