China Bikin Jaringan Komputer Raksasa di Luar Angkasa: Ancaman Baru Bagi Dominasi Teknologi AS?
Tanggal: 26 Mei 2025 11:54 wib.
Tampang.com | China kembali membuat gebrakan dalam persaingan teknologi global dengan Amerika Serikat, kali ini melalui peluncuran konstelasi satelit canggih yang berfungsi sebagai jaringan komputer raksasa di luar angkasa. Langkah ini bukan sekadar simbol kekuatan teknologi, tapi juga strategi visioner yang dapat mengubah cara dunia memanfaatkan satelit di masa depan.
Tidak seperti satelit tradisional yang hanya digunakan untuk komunikasi atau pengamatan, satelit baru ini dirancang untuk melakukan pemrosesan data secara mandiri langsung di orbit. Dengan demikian, satelit-satelit ini tidak lagi tergantung pada infrastruktur komputasi di Bumi—sebuah terobosan besar yang membuka era baru dalam eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa.
Peluncuran dilakukan pada 14 Mei 2025 dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan, China bagian utara, menggunakan roket Long March 2D. China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) mengonfirmasi bahwa 12 satelit berhasil ditempatkan di orbit sebagaimana direncanakan. Peluncuran ini menjadi langkah awal dari proyek strategis bertajuk "Star Computing".
CASC menyatakan bahwa misi ini sepenuhnya berhasil, dan menjadi bagian penting dari konstelasi pertama dalam proyek tersebut. Star Computing digagas sebagai upaya untuk membangun pusat komputasi berbasis ruang angkasa yang dapat menangani berbagai jenis data secara real-time tanpa perlu dikirim kembali ke pusat data di darat.
Yang membedakan proyek ini dari sistem lainnya adalah kemampuan pemrosesan langsung di orbit. Pendekatan ini mengurangi kebutuhan akan sistem pendingin besar seperti di pusat data konvensional dan juga meminimalkan kerentanan terhadap gangguan infrastruktur di Bumi. Lebih jauh, sistem ini diyakini memiliki potensi strategis besar dalam konteks militer dan keamanan nasional.
Satelit-satelit ini dikembangkan oleh Guoxing Aerospace Corporation, perusahaan teknologi luar angkasa asal China. Mereka menggunakan teknologi komunikasi laser antar satelit yang memungkinkan terbentuknya jaringan komputasi otonom dan terintegrasi di luar angkasa. Menurut laporan media resmi Kementerian Sains dan Teknologi China, ST Daily, proyek ini menargetkan pembangunan hingga 2.800 satelit dalam jangka panjang.
“Pembangunan konstelasi pertama ini akan menciptakan infrastruktur komputasi masa depan yang mampu memenuhi kebutuhan komputasi real-time di orbit. Selain itu, ini akan memperkuat posisi China dalam industri strategis masa depan dan mendorong kemajuan kecerdasan buatan dari Bumi hingga ruang angkasa,” demikian isi pernyataan dari ST Daily.
Langkah ambisius ini menjadi perhatian dunia, terutama Amerika Serikat. Persaingan antara kedua negara dalam ranah luar angkasa, AI, dan teknologi komputasi berkecepatan tinggi semakin memanas. Beberapa laporan menyebutkan bahwa satelit militer AS terdeteksi melakukan pengamatan terhadap satelit-satelit baru milik China, mengindikasikan kekhawatiran Washington atas kemajuan ini.
Tak hanya itu, kehadiran China dalam proyek luar angkasa di kawasan Amerika Latin juga menjadi sorotan. Sejumlah pejabat militer AS menyuarakan kekhawatiran atas meningkatnya pengaruh Beijing di wilayah tersebut, khususnya melalui pengembangan teknologi luar angkasa.
Jika dibandingkan dengan Starlink milik Elon Musk yang kini memiliki lebih dari 6.750 satelit aktif per akhir Februari 2025, konstelasi China memang masih tergolong kecil. Namun, fokus dan tujuan keduanya berbeda. Starlink bertujuan membangun jaringan komunikasi global, sedangkan China lebih menekankan pada penciptaan sistem komputasi orbit berbasis AI yang bersifat mandiri dan otonom.
Astrofisikawan dari Harvard University, Jonathan McDowell, menyebut bahwa proyek ini memiliki keunggulan signifikan dalam hal efisiensi energi. Menurutnya, pusat data orbital dapat menggunakan tenaga surya secara optimal dan membuang panas langsung ke ruang hampa, sehingga mengurangi kebutuhan energi dan jejak karbon yang biasanya besar dalam pusat data di Bumi.
“Peluncuran ini merupakan uji terbang penting untuk membuktikan konsep jaringan komputasi orbital,” ungkap McDowell kepada South China Morning Post.
Dengan keberhasilan peluncuran awal ini, China tampaknya tidak akan berhenti di sini. Mereka berambisi untuk memimpin dalam pengembangan teknologi orbit, AI, dan superkomputer masa depan. Tiga hal tersebut dipandang sebagai pilar utama dalam persaingan geopolitik dan ekonomi global yang semakin intens.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari United States Space Force. Namun, banyak analis memprediksi bahwa peluncuran ini akan mempercepat balapan teknologi luar angkasa antara dua raksasa dunia tersebut.
Proyek Star Computing dapat menjadi titik balik yang menentukan masa depan teknologi orbit global. Jika berhasil, China tidak hanya akan unggul secara teknis, tetapi juga memperkuat pengaruhnya dalam peta kekuatan dunia berbasis teknologi tinggi. Dunia kini menanti bagaimana AS akan merespons, dan apakah kompetisi ini akan membawa kemajuan atau ketegangan baru dalam relasi internasional.