ChatGPT Rugi Puluhan Juta Dolar Gara-Gara 'Tolong' dan 'Terima Kasih'? Ini Penjelasan Mengejutkan Sam Altman
Tanggal: 7 Mei 2025 20:53 wib.
Tampang.com | Siapa sangka, sikap sopan santun seperti mengucapkan "tolong" dan "terima kasih" saat berbicara dengan chatbot justru bisa membuat perusahaan teknologi merugi besar? Hal inilah yang diungkap langsung oleh Sam Altman, CEO OpenAI, dalam sebuah pernyataan mengejutkan yang membuat publik bertanya-tanya. Menurut Altman, kata-kata sopan dari pengguna ChatGPT ternyata menjadi salah satu penyebab utama pembengkakan biaya operasional perusahaan.
Dalam tanggapannya kepada seorang pengguna di platform X (sebelumnya Twitter), Altman mengaku bahwa bentuk kesopanan tersebut bisa menyebabkan kerugian hingga "puluhan juta dolar" setiap tahunnya. Ia tidak memerinci secara detail bagaimana perhitungan kerugian itu, namun yang jelas, interaksi sopan tersebut berdampak langsung pada konsumsi energi dan biaya operasional ChatGPT.
“Puluhan juta dolar yang dihabiskan—Anda tidak akan pernah tahu,” tulis Altman, menjawab pertanyaan pengguna yang penasaran dengan seberapa besar dampaknya.
OpenAI, perusahaan yang berada di balik ChatGPT, menggunakan teknologi large language model (LLM) yang sangat kompleks dan membutuhkan kapasitas komputasi luar biasa besar. Teknologi ini berjalan di atas ribuan unit GPU kelas tinggi yang tersebar di pusat data dengan konsumsi energi sangat besar. Bahkan untuk satu respons singkat dalam bentuk paragraf atau email, ChatGPT dapat mengonsumsi hingga 0,14 kilowatt-jam (kWh) listrik—jumlah yang setara dengan menyalakan 14 lampu LED selama satu jam penuh.
Tentu saja, jika jutaan pengguna menggunakan ChatGPT setiap harinya dan masing-masing menyisipkan kata-kata sopan dalam setiap permintaan, maka total konsumsi listrik akan melonjak drastis. Ini menjelaskan mengapa penggunaan kata “tolong” atau “terima kasih” bukan hanya persoalan etika, melainkan kini juga berdampak langsung pada finansial perusahaan pengembang AI.
Sebagai gambaran lebih luas, laporan dari New York Post menyebutkan bahwa pusat data secara keseluruhan menyumbang sekitar 2% dari total konsumsi listrik global. Dengan pesatnya pengembangan teknologi AI generatif seperti ChatGPT, angka tersebut diprediksi akan meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
Fakta menarik lainnya, menurut survei terbaru di Amerika Serikat, sekitar 67% pengguna chatbot mengaku menggunakan bahasa yang sopan saat berinteraksi dengan kecerdasan buatan. Ini menunjukkan bahwa perilaku sopan terhadap AI bukanlah kebiasaan yang langka, melainkan sudah menjadi norma umum di kalangan pengguna.
Namun, apakah ini berarti kita harus berhenti bersikap sopan kepada chatbot?
Ternyata, banyak pakar AI yang justru menganjurkan sebaliknya. Mereka menilai bahwa penggunaan bahasa yang sopan tidak hanya berpengaruh pada kualitas interaksi, tetapi juga membentuk etika digital yang lebih sehat. Salah satu pendukung sikap ini adalah Kurtis Beaver, anggota tim desain Microsoft Copilot, yang menyatakan bahwa nada sopan dapat memicu respons yang lebih profesional dan kolaboratif dari AI.
Dalam publikasi Microsoft WorkLab—media internal Microsoft yang membahas implementasi AI di dunia kerja—dijelaskan bahwa saat AI merasakan nada sopan dari pengguna, sistem cenderung membalas dengan sikap serupa. Ini membentuk hubungan komunikasi yang lebih positif, meskipun dilakukan antara manusia dan mesin.
Artinya, walaupun ada biaya tambahan yang harus ditanggung oleh penyedia layanan AI seperti OpenAI, dari sisi pengguna dan etika penggunaan teknologi, sikap sopan tetap dianjurkan. Tantangannya kini adalah bagaimana menciptakan sistem yang lebih efisien dan ramah lingkungan agar interaksi manusia-AI tetap alami tanpa mengorbankan biaya operasional yang membengkak.
Masalah efisiensi energi memang menjadi isu serius di tengah berkembangnya AI generatif. Beberapa pihak menyuarakan pentingnya riset lanjutan dalam pengembangan hardware dan software AI yang hemat daya, termasuk pengoptimalan model agar tidak boros komputasi saat merespons permintaan yang relatif sederhana.
Pernyataan Sam Altman juga menyiratkan betapa mahalnya biaya di balik layar teknologi yang kita nikmati sehari-hari. Interaksi yang terlihat sepele bagi pengguna, seperti percakapan ramah dengan chatbot, ternyata membawa konsekuensi besar di sisi infrastruktur dan energi. Ini menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi selalu datang dengan harga—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Sebagai penutup, pernyataan Altman membuka ruang diskusi baru tentang masa depan AI dan keberlanjutan penggunaannya. Haruskah kita mulai membatasi kata-kata sopan demi efisiensi? Ataukah sebaliknya, industri perlu mencari solusi teknologi agar interaksi manusia dengan AI tetap manusiawi, tanpa membebani bumi dan biaya perusahaan?
Satu hal yang pasti: semakin canggih teknologi, semakin kompleks pula tantangan yang harus dihadapi, baik dari segi etika, biaya, hingga dampaknya terhadap lingkungan. Maka dari itu, inovasi yang berkelanjutan bukan hanya soal kecanggihan, tetapi juga soal tanggung jawab.