Sumber foto: iStock

ChatGPT Populer, Tapi OpenAI Masih Rugi: Apa Penyebabnya?

Tanggal: 7 Jan 2025 11:18 wib.
Dalam beberapa waktu terakhir, layanan chatbot AI-generatif semakin banyak digunakan oleh masyarakat. Meskipun demikian, ternyata perusahaan pengembangnya belum tentu meraih keuntungan dari inovasi tersebut.

Salah satunya adalah OpenAI, perusahaan di balik layanan chatbot AI populer ChatGPT. Meski layanan ini digadang-gadang sebagai pengganti Google, OpenAI mengalami kerugian. 

ChatGPT sendiri telah meluncurkan layanan khusus mesin pencari yang sangat mirip dengan fungsi Google. CEO OpenAI, Sam Altman, mengungkapkan bahwa meskipun mereka telah menetapkan harga langganan sebesar US$200 (sekitar Rp 3,2 juta) per bulan untuk layanan premium ChatGPT Pro, perusahaan masih merugi. Altman menyatakan bahwa para pelanggan menggunakan layanan tersebut lebih dari yang perusahaan prediksikan. 

Perusahaan merilis ChatGPT Pro menjelang akhir tahun lalu, menyediakan akses ke versi peningkatan OpenAI o1 Pro dan layanan generator video Sora secara terbatas. Meski demikian, meskipun harga langganan sudah cukup mahal, OpenAI belum mampu meraup keuntungan. Hal ini terbilang ironis mengingat OpenAI telah berhasil mengumpulkan pendanaan sekitar US$20 miliar (sekitar Rp 324 triliun) sejak awal berdiri. 

Dalam perkiraan terbaru, OpenAI memprediksi kerugian mencapai US$5 miliar (sekitar Rp 80 triliun), yang meningkat dari kerugian sebelumnya sebesar US$3,7 miliar (sekitar Rp 60 triliun).

Hal ini disebabkan oleh biaya operasional yang tinggi, seperti gaji karyawan, sewa kantor, dan infrastruktur pelatihan kecerdasan buatan. Pada satu waktu, biaya operasional ChatGPT saja mencapai sekitar US$700.000 (sekitar Rp 11,3 miliar) per hari. 

OpenAI mengakui bahwa mereka membutuhkan lebih banyak modal dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sebab itu, perusahaan tengah menyiapkan restrukturisasi untuk menarik investasi baru. Mereka juga berencana meningkatkan harga langganan layanan mereka, dengan harapan bisa meraih pendapatan hingga US$100 miliar (sekitar Rp 1,6 triliun) pada tahun 2029 mendatang. 

Hal ini sejalan dengan komitmen perusahaan dalam mengoptimalkan layanan-layanan mereka. Meskipun saat ini masih dalam fase kerugian, OpenAI percaya bahwa dengan restrukturisasi dan peningkatan harga, mereka bisa mencapai pendapatan yang sangat besar dalam waktu yang akan datang. Bagi perusahaan AI seperti OpenAI, langkah ini patut dipertimbangkan dengan matang mengingat tingginya persaingan di industri teknologi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved