CEO Nvidia Kritik Pedas Aturan Ekspor Chip AS ke China, Apa Dampaknya bagi Industri AI Global?
Tanggal: 25 Mei 2025 01:27 wib.
Jensen Huang, CEO Nvidia, baru-baru ini melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang memperketat kontrol ekspor chip kecerdasan buatan (AI) ke China. Menurut Huang, kebijakan ini bukan hanya gagal total, tapi juga berpotensi merugikan perusahaan-perusahaan AS secara finansial dan strategis dalam persaingan teknologi dengan China.
Dalam pernyataannya yang dikutip Reuters pada Rabu, 21 Mei 2025, Huang menyebut bahwa pembatasan ekspor chip ini justru menghambat peluang penjualan perusahaan AS yang seharusnya bisa meraih miliaran dolar dari pasar China. Sebaliknya, kebijakan tersebut malah menjadi pemicu bagi perusahaan-perusahaan teknologi di China untuk mempercepat pengembangan chip AI canggih secara mandiri, dengan tujuan mengalahkan dominasi AS.
“Secara keseluruhan, kontrol ekspor chip ini adalah sebuah kegagalan besar,” ujar Huang tegas. Ia menambahkan bahwa asumsi dasar yang menjadi landasan pembuatan aturan AI Diffusion—aturan yang diresmikan di era pemerintahan Joe Biden—ternyata memiliki banyak kekurangan dan kelemahan dalam implementasinya.
Sebagai informasi, aturan AI Diffusion membagi negara-negara ke dalam tiga kategori (tier) yang menentukan tingkat akses mereka terhadap chip-chip AI buatan AS. Kebijakan ini awalnya dimaksudkan untuk membatasi akses China terhadap teknologi mutakhir demi alasan keamanan nasional dan menjaga keunggulan kompetitif AS.
Namun, pada masa pemerintahan Donald Trump, aturan tersebut direvisi dengan mengklaim penyederhanaan sistem. Pemerintahan Trump menawarkan pendekatan baru berupa rezim lisensi global, yang didasarkan pada kesepakatan pemerintah-ke-pemerintah. Artinya, negara-negara yang ingin mengakses chip AI dari AS harus terlebih dahulu membuat kesepakatan tertentu yang menguntungkan kedua belah pihak.
Di ajang Computex yang berlangsung di Taiwan, Huang mengapresiasi pendekatan baru Trump dalam mengelola kebijakan ekspor chip AI. Meski begitu, hingga kini rincian dan implementasi teknis dari aturan baru tersebut masih belum jelas dan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku industri.
Huang juga mengungkapkan data yang mengejutkan mengenai pangsa pasar Nvidia di China. Sejak diberlakukannya aturan kontrol ekspor pada masa pemerintahan Biden, pangsa pasar Nvidia di China menurun drastis dari 95% menjadi hanya sekitar 50%. Penurunan ini merupakan indikasi langsung bahwa kebijakan pembatasan tersebut sangat berdampak negatif pada bisnis perusahaan.
Selain itu, Huang menyoroti fakta bahwa lebih dari setengah peneliti AI di dunia kini berbasis di China. Dengan adanya pembatasan impor chip AI dari AS, para ilmuwan dan pakar teknologi AI tersebut terpaksa harus kembali ke China untuk mengembangkan teknologi AI secara mandiri. Situasi ini justru mempercepat kemajuan teknologi China di bidang AI dan memperkuat ekosistem inovasi domestik mereka.
“Kompetisi kita dengan China sangat ketat dan intens. Mereka justru sangat senang ketika kita terpaksa meninggalkan pasar China dan tak kembali lagi,” ujar Huang.
Dalam pandangannya, pasar AI di China memiliki potensi yang sangat besar. Ia memperkirakan nilai pasar AI di China akan mencapai US$50 miliar pada tahun depan. Potensi ini tentunya merupakan peluang emas bagi perusahaan seperti Nvidia jika saja kebijakan ekspor dari pemerintah AS tidak membatasi akses mereka ke pasar tersebut.
Dampak kebijakan ini bukan hanya soal bisnis dan keuntungan semata, tapi juga berpengaruh pada posisi strategis AS dalam persaingan teknologi global. Huang menegaskan bahwa pembatasan akses chip AI ke China justru memperkuat ambisi China untuk menjadi pemimpin teknologi AI dunia, sementara AS harus menghadapi risiko kehilangan posisi dominannya.
Para ahli menilai bahwa kebijakan kontrol ekspor chip ini merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi, pemerintah AS ingin melindungi keamanan nasional dan mencegah teknologi kritis jatuh ke tangan yang dianggap berisiko. Namun, di sisi lain, pembatasan ini juga berpotensi melemahkan daya saing perusahaan AS dan mempercepat ketergantungan teknologi China pada inovasi dalam negeri.
Dengan perkembangan ini, banyak pengamat teknologi yang berharap adanya revisi kebijakan yang lebih realistis dan adaptif terhadap dinamika pasar global. Kebijakan yang terlalu ketat dan proteksionis dikhawatirkan hanya akan memicu konsekuensi negatif jangka panjang bagi industri teknologi AS, terutama di sektor chip AI yang menjadi tulang punggung kemajuan kecerdasan buatan.
Kesimpulannya, pernyataan CEO Nvidia Jensen Huang membuka diskusi penting mengenai strategi nasional dalam mengelola teknologi canggih dan menjaga keunggulan kompetitif di tengah persaingan global yang semakin sengit. Kebijakan kontrol ekspor chip yang awalnya bertujuan mengamankan teknologi AS, ternyata memunculkan tantangan baru yang membutuhkan penyesuaian cepat dan pendekatan yang lebih efektif.