CCTV dan Face Recognition Menjamur di Kota-Kota Besar, Privasi Warga Terancam?
Tanggal: 10 Mei 2025 17:34 wib.
Tampang.com | Pemerintah daerah di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar gencar memasang CCTV dan sistem face recognition (pengenalan wajah) sebagai bagian dari program smart city dan peningkatan keamanan publik. Namun, lonjakan penggunaan teknologi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah privasi warga masih dilindungi?
Keamanan Ditingkatkan, Tapi di Mana Batasnya?
Pemasangan ribuan CCTV dan teknologi pengenal wajah diklaim mampu membantu penegakan hukum dan mengurangi tindak kriminal. Beberapa kasus pencurian dan kejahatan jalanan memang berhasil diungkap lebih cepat karena rekaman visual.
Namun, banyak pihak mulai khawatir bahwa teknologi ini dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa pengawasan yang cukup.
“Teknologi bisa digunakan untuk kebaikan, tapi tanpa regulasi yang jelas, bisa dengan mudah disalahgunakan,” ujar Rizal Muttaqin, peneliti kebijakan teknologi dari ICT Watch.
Face Recognition: Siapa yang Simpan Data Kita?
Tidak banyak warga yang mengetahui bahwa data wajah mereka bisa saja tersimpan di sistem tertentu tanpa izin eksplisit. Saat ini belum ada standar nasional mengenai pengelolaan data biometrik di Indonesia.
“Kami tidak tahu data wajah kami disimpan di mana, berapa lama, dan siapa saja yang bisa mengaksesnya,” kata Farah, warga Jakarta yang sering melintas di area yang diawasi face recognition.
Peraturan Tertinggal dari Teknologi
Hingga awal 2025, Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang secara spesifik mengatur penggunaan data biometrik oleh pemerintah daerah atau vendor teknologi. Hal ini membuat penggunaan sistem pengawasan menjadi rawan celah hukum.
“Banyak kota berlomba-lomba jadi smart city, tapi lupa bahwa smart bukan hanya soal alat canggih, tapi juga cerdas dalam melindungi hak warga,” tambah Rizal.
Kecemasan Warga: Merasa Diawasi 24 Jam
Warga mulai merasa risih ketika ruang publik seperti taman, jalan umum, bahkan transportasi dipenuhi dengan pengawasan visual. Ada rasa diawasi tanpa tahu tujuannya.
“Kadang kita tidak sedang berbuat salah, tapi tetap merasa tidak nyaman karena kamera ada di mana-mana,” kata Bayu, seorang mahasiswa di Surabaya.
Solusi: Regulasi Ketat dan Keterlibatan Publik
Pakar teknologi menilai perlu adanya audit independen terhadap sistem pengawasan publik serta keterlibatan masyarakat dalam menentukan lokasi dan tujuan pengawasan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci.
“Kita butuh aturan yang jelas soal kapan, di mana, dan untuk apa CCTV dan face recognition digunakan. Harus ada pengawasan, bukan hanya alat pengawas,” tutup Rizal.