Sumber foto: iStock

Bumi Mendidih? Laporan Terbaru Ungkap Krisis Iklim 2025 Semakin Mengancam Masa Depan Manusia

Tanggal: 13 Apr 2025 14:06 wib.
Krisis iklim bukan lagi sekadar ancaman di masa depan—ia telah hadir dan semakin nyata. Dunia kini dihadapkan pada fakta mengejutkan: suhu rata-rata Bumi pada Januari 2025 telah melonjak 1,75 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri. Temuan ini berasal dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) dan menjadi sinyal bahaya bahwa kita semakin dekat dengan ambang batas pemanasan global yang tidak bisa dipulihkan.

Menurut proyeksi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), Bumi hanya punya waktu kurang dari satu dekade sebelum suhu global menembus ambang batas 1,5 derajat Celcius. Melewati angka ini berarti kerusakan permanen terhadap ekosistem dan kehidupan di planet ini—dari perubahan iklim ekstrem hingga kehancuran biodiversitas.

Dunia Menuju Titik Kritis: Waktu Semakin Menipis

IPCC dengan tegas menyatakan bahwa dekade ini adalah masa paling genting dalam sejarah manusia. Pilihannya hanya dua: bertindak segera atau menghadapi konsekuensi yang tidak bisa dibalikkan. Organisasi tersebut menyerukan aksi global untuk memangkas emisi gas rumah kaca secara drastis dan cepat.

Ketua IPCC, Lee Hoesung, dalam keterangannya kepada AFP, menyampaikan bahwa kita sudah memiliki teknologi, dana, dan peralatan yang memadai. Sayangnya, yang kurang adalah kemauan politik global untuk membuat keputusan besar yang berani demi planet ini.

Pemanasan Global Tak Lagi Teori, Tapi Realita

Fenomena pemanasan global kini terasa di mana-mana. Cuaca ekstrem, suhu yang mencetak rekor, dan bencana alam yang makin sering terjadi menjadi bukti bahwa perubahan iklim sudah sangat nyata. Ilmuwan dari Imperial College London, Friederike Otto, mengungkapkan bahwa "tahun terpanas yang kita alami saat ini akan menjadi yang paling dingin bagi anak cucu kita kelak"—sebuah pernyataan yang menggambarkan betapa cepatnya perubahan ini terjadi.

Jika tidak ditangani, dunia akan menghadapi konsekuensi serius seperti kepunahan massal spesies, panen yang gagal secara luas, kematian ekosistem laut seperti terumbu karang, hingga mencairnya es kutub yang mempercepat kenaikan permukaan laut.

Seruan Mendesak dari PBB: Target Netral Karbon Dipercepat

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menambahkan tekanan pada negara-negara industri besar agar mempercepat target netral karbon dari tahun 2050 menjadi 2040. Menurutnya, kita saat ini sedang berdiri di atas lapisan es yang sangat tipis—dan sayangnya lapisan itu mencair dengan sangat cepat.

Gagal menjaga suhu agar tidak melebihi ambang batas akan membuat banyak wilayah dunia, terutama Asia Tenggara, Brasil, dan Afrika Barat, mengalami kondisi panas dan kelembaban ekstrem yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Tren Pemanasan Global Kian Mengerikan

Menurut data dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Januari 2025 adalah bulan ke-18 dari total 19 bulan terakhir di mana suhu global terus bertahan 1,5 derajat Celcius di atas rata-rata pra-industri. Bahkan, tahun 2024 sudah resmi tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah manusia.

Meski pencapaian suhu di atas ambang batas dalam satu tahun tidak otomatis berarti Perjanjian Paris gagal, namun tren ini jelas menunjukkan bahwa kita berada di jalur yang salah. Perjanjian Paris menargetkan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat, namun diukur dalam jangka dekade, bukan tahunan.

Namun demikian, para ahli mengingatkan bahwa setiap kenaikan kecil dalam suhu rata-rata global bisa berdampak besar. Dampak yang sebelumnya dianggap akan terjadi di masa depan kini mulai muncul satu per satu, memperkuat urgensi untuk bertindak.

Distribusi Pemanasan Tidak Merata, Tapi Dampaknya Global

Satu hal yang perlu dicatat: kenaikan suhu tidak terjadi secara merata di seluruh dunia. Pada Januari 2025, sebagian besar wilayah dunia mengalami suhu di atas rata-rata. Namun, beberapa wilayah seperti Amerika Serikat, Greenland, dan Rusia bagian timur jauh mengalami suhu yang sedikit lebih rendah.

Selain itu, luas es laut di wilayah Arktik tercatat sebagai yang paling kecil sepanjang sejarah, memperkuat sinyal bahwa kutub Bumi terus kehilangan kestabilannya. Bila tren ini berlanjut, kita bisa menghadapi perubahan garis pantai, krisis air, dan hilangnya habitat penting bagi spesies kunci di ekosistem kutub.

Arah Masa Depan: Bangkit atau Tergilas?

Krisis iklim bukan hanya isu lingkungan—ini adalah persoalan keberlangsungan hidup manusia. Dalam sepuluh tahun ke depan, kita punya pilihan: membuat sejarah dengan mengatasi krisis ini, atau menjadi korban sejarah karena kelambanan kita.

Sudah saatnya semua pihak—pemerintah, korporasi, komunitas, dan individu—bersatu dalam tindakan nyata. Tidak cukup hanya bicara soal keberlanjutan, kita perlu kebijakan ambisius, inovasi hijau, dan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Dengan waktu yang semakin menipis, aksi kolektif adalah satu-satunya jalan keluar dari bencana iklim yang mengintai.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved