Sumber foto: iStock

Bukti dari Lingkar Pohon: 2023 Adalah Titik Puncak Pemanasan Global dalam 2.000 Tahun Terakhir

Tanggal: 12 Apr 2025 13:56 wib.
Tampang.com | Sebuah temuan ilmiah mengejutkan dunia: tahun 2023 tercatat sebagai musim panas terpanas dalam kurun waktu dua milenium terakhir. Bukti ini berasal dari sebuah studi yang memanfaatkan salah satu metode paling alami dan akurat untuk merekam sejarah iklim—lingkar pohon. Melalui analisis mendalam terhadap pola pertumbuhan tahunan pada batang pohon, para ilmuwan mengungkapkan bahwa perubahan iklim bukan hanya nyata, tapi telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia modern.

Penelitian ini dipimpin oleh Ulf Buntgen, seorang ahli klimatologi dari University of Cambridge, bersama timnya. Mereka menganalisis cincin-cincin pohon yang tumbuh di wilayah dengan curah air melimpah—lingkungan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Lingkaran yang terbentuk setiap tahun pada batang pohon menyimpan informasi berharga tentang kondisi iklim saat itu. Semakin tebal lingkarannya, semakin baik pertumbuhan pohon, yang menandakan kondisi iklim mendukung. Sebaliknya, lingkaran yang tipis menunjukkan tekanan lingkungan, seperti suhu ekstrem atau kekeringan.

Dari data yang terkumpul, ditemukan bahwa suhu musim panas pada tahun 2023 jauh melampaui semua catatan suhu yang pernah tercatat sejak tahun 1 Masehi. Dengan membandingkan suhu musim panas pada 2023 dengan rerata suhu pada periode pra-industri (1850–1900), kenaikannya mencapai 2,2 derajat Celsius. Ini jauh di atas ambang batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015, yaitu membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.

Menurut Buntgen, tren ini menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada tindakan drastis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global, maka pemanasan akan terus berlanjut dan mempercepat terjadinya bencana iklim. Ia menegaskan bahwa pemanasan global bukan lagi prediksi masa depan, melainkan fakta masa kini yang telah tertanam dalam catatan alam.

Lebih lanjut, studi ini juga mengungkapkan peristiwa-peristiwa cuaca ekstrem di masa lalu sebagai pembanding. Tahun 536 M misalnya, tercatat sebagai tahun paling dingin dalam 2.000 tahun terakhir, dengan suhu musim panas rata-rata hanya 3,93 derajat Celsius lebih rendah dari tahun 2023. Namun, perubahan itu terjadi akibat bencana alam besar seperti letusan gunung berapi, bukan karena ulah manusia.

Sebaliknya, pemanasan ekstrem yang terjadi saat ini sepenuhnya dipicu oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan urbanisasi tanpa kendali. Kombinasi antara emisi gas rumah kaca dan fenomena iklim alami seperti El Nino pada 2023 menyebabkan gelombang panas yang ekstrem serta musim kering yang berlangsung lebih lama di banyak wilayah.

Jan Esper dari Johannes Gutenberg University Mainz, salah satu peneliti dalam studi ini, menambahkan bahwa sekalipun iklim memang mengalami fluktuasi alami sepanjang sejarah, perubahan yang terjadi pada abad ke-21 memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Kecepatannya jauh lebih tinggi dan penyebab utamanya bukan fenomena alam, melainkan hasil dari tindakan manusia.

Penemuan ini menantang validitas pendekatan yang selama ini digunakan dalam kebijakan internasional terkait iklim. Sebagai contoh, Perjanjian Paris menghitung ambang batas pemanasan dari masa pra-industri, namun tanpa referensi data historis yang lebih panjang seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Ketika cakupan data diperluas hingga dua milenium ke belakang, tampak jelas bahwa tahun 2023 bukan sekadar tahun yang panas, melainkan anomali yang mencolok secara ilmiah.

Kondisi ini semakin memperkuat urgensi untuk merevisi pendekatan global terhadap mitigasi perubahan iklim. Upaya pengurangan emisi tidak lagi bisa ditunda, dan investasi besar-besaran harus diarahkan pada pengembangan energi terbarukan, teknologi penyerapan karbon, serta sistem pertanian dan industri yang ramah lingkungan.

Lebih penting lagi, studi ini menyadarkan kita bahwa bukti perubahan iklim ada di sekitar kita, bahkan tertulis dalam tubuh pohon-pohon yang tumbuh selama ribuan tahun. Alam tidak berbohong. Cincin kayu menjadi saksi bisu atas sejarah bumi dan kini memberi peringatan yang keras: masa depan planet ini ada di tangan kita.

Dengan semakin banyak bukti ilmiah yang tak terbantahkan, masyarakat global perlu mendorong pemerintah dan sektor industri untuk bertindak lebih cepat dan lebih serius dalam menyelamatkan bumi. Ini bukan lagi soal generasi mendatang—ini adalah soal kelangsungan hidup kita hari ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved