Sumber foto: iStock

Bongkar Strategi Panik Meta: Instagram & WhatsApp Diakuisisi Demi Kuasai Medsos?

Tanggal: 17 Apr 2025 09:17 wib.
Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana Instagram dan WhatsApp bisa menjadi bagian dari kerajaan raksasa Meta? Ternyata, di balik akuisisi dua aplikasi besar ini, tersimpan kisah penuh tekanan, strategi bisnis agresif, dan potensi pelanggaran hukum yang kini dipertanyakan. Mantan Kepala Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika Serikat, Lina Khan, mengungkap bahwa langkah Facebook membeli Instagram dan WhatsApp merupakan reaksi panik terhadap meningkatnya ancaman kompetitor di era booming smartphone.

Dalam wawancara di program Squawk Box CNBC International yang tayang pada Selasa (15/4/2025), Khan menyatakan bahwa pada masa itu, Facebook melihat pertumbuhan pesat dari Instagram dan WhatsApp sebagai potensi ancaman besar terhadap dominasi mereka di dunia digital. Dengan pengguna smartphone yang terus meningkat, dua aplikasi mobile ini menjadi pilihan utama masyarakat untuk berinteraksi secara online.

"Facebook melihat Instagram dan WhatsApp berkembang pesat. Saat itu, mereka berada di persimpangan: membeli atau tersingkir. Kalau tidak bisa menyaingi, satu-satunya jalan adalah mengakuisisi," ujar Khan. Strategi ini dikenal dalam dunia bisnis sebagai pendekatan buy-or-bury, yaitu membeli kompetitor sebelum mereka tumbuh terlalu besar dan menggulingkan dominasi pasar.

Kini, Meta—induk perusahaan Facebook—dihadapkan pada persidangan anti-monopoli yang digelar oleh FTC. Proses hukum ini resmi dimulai pada Senin (14/4/2025) waktu setempat, dengan sorotan tajam terhadap dua akuisisi besar yang dilakukan Meta: pembelian Instagram senilai US$1 miliar pada tahun 2012 dan WhatsApp seharga US$19 miliar pada tahun 2014. Pemerintah AS menduga bahwa langkah ini bukan hanya ekspansi bisnis biasa, melainkan upaya sistematis untuk memonopoli pasar media sosial.

Meta sendiri belum memberikan komentar resmi terhadap tuduhan tersebut, meskipun mereka selama ini berupaya keras membantah dugaan monopoli dan menyatakan bahwa perusahaan tetap beroperasi secara adil. Namun, persidangan ini berpotensi mengarah pada keputusan mengejutkan: Meta bisa dipaksa melakukan divestasi alias melepaskan kepemilikan atas Instagram dan WhatsApp.

Lina Khan menegaskan bahwa tidak ada batas waktu untuk menilai legalitas suatu transaksi. Meskipun akuisisi tersebut sudah terjadi lebih dari satu dekade lalu, ia percaya bahwa langkah tersebut tetap harus diuji melalui proses hukum demi menjaga integritas pasar. Menurutnya, ada kemungkinan bahwa dunia media sosial bisa berkembang secara berbeda—lebih kompetitif dan adil—jika Facebook tidak diberi lampu hijau untuk menguasai dua aplikasi besar tersebut.

“Inti dari kasus ini adalah untuk melindungi keadilan dan kebebasan dalam perdagangan digital. Walau belum ada keputusan final, selalu ada ruang untuk penyelesaian sebelum sidang berakhir,” ucap Khan.

Fakta menarik lainnya adalah hubungan antara CEO Meta, Mark Zuckerberg, dan Presiden AS Donald Trump. Meski Trump dikenal dekat dengan para pemimpin perusahaan teknologi besar, dan meskipun Zuckerberg menyumbang sebesar US$1 juta untuk pelantikan Trump, Khan mengaku lega karena pengaruh tersebut tidak cukup kuat untuk membatalkan proses hukum yang sedang berlangsung.

Zuckerberg bahkan dilaporkan beberapa kali menemui Trump sejak Januari 2025, memicu spekulasi tentang adanya lobi tingkat tinggi untuk menghentikan proses hukum ini. Namun upaya tersebut tampaknya gagal membendung langkah FTC untuk menggugat Meta.

Khan mengatakan, semua pihak hanya bisa menunggu proses hukum berjalan hingga ada putusan akhir. Apapun hasilnya, kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam mengatur kekuatan perusahaan teknologi di masa depan, sekaligus menjadi peringatan bagi korporasi besar agar tidak semena-mena menggunakan kekuatan finansial demi menyingkirkan pesaing.

Dari sudut pandang ekonomi digital dan keadilan pasar, pertarungan hukum antara Meta dan FTC bukan hanya soal dua aplikasi, tetapi tentang masa depan ekosistem media sosial global. Apakah kita akan hidup di dunia digital yang didominasi segelintir raksasa teknologi? Atau akan terbuka ruang bagi inovasi dan pemain baru yang lebih beragam?

Jawabannya mungkin tergantung pada hasil persidangan ini. Satu hal yang pasti, masyarakat dunia kini semakin sadar akan pentingnya regulasi terhadap dominasi digital. Jika terbukti bahwa akuisisi tersebut melemahkan persaingan dan membatasi pilihan pengguna, maka bukan tak mungkin Instagram dan WhatsApp akan kembali menjadi entitas independen.

Bagi pengguna setia kedua aplikasi ini, perubahan besar mungkin sedang menanti di depan mata. Dan bagi dunia bisnis teknologi, ini adalah alarm keras bahwa ekspansi tanpa batas kini tak lagi bisa diterima begitu saja.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved