Bola Mata Dibekukan! Worldcoin Kena Semprit di Indonesia, Ada Apa di Balik Layanan Digital Sam Altman Ini?
Tanggal: 4 Mei 2025 19:02 wib.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi membekukan sementara izin operasional Worldcoin dan WorldID, dua layanan berbasis teknologi digital yang dikembangkan oleh Sam Altman, pendiri ChatGPT. Langkah ini diambil setelah munculnya laporan terkait aktivitas mencurigakan yang dilakukan oleh kedua platform tersebut di Indonesia.
Keputusan pembekuan ini diumumkan oleh Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital di Kementerian Komdigi. Ia menjelaskan bahwa pemerintah telah memulai penyelidikan lebih lanjut dan akan memanggil dua perusahaan yang terlibat, yakni PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara, untuk memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan pelanggaran aturan penyelenggaraan sistem elektronik.
Masalah Legalitas: Tak Punya TDPSE dan Salah Gunakan Identitas Hukum
PT. Terang Bulan Abadi disebut belum tercatat secara resmi sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan tidak memiliki Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE), yang merupakan kewajiban hukum berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku. Padahal, keikutsertaan dalam ekosistem digital Indonesia mensyaratkan semua penyelenggara sistem untuk memiliki TDPSE agar bisa diawasi dan dijamin keamanannya bagi publik.
Lebih rumit lagi, Worldcoin teridentifikasi menggunakan izin TDPSE milik badan hukum lain, yakni PT. Sandina Abadi Nusantara. Praktik semacam ini dinilai sebagai pelanggaran serius karena menggunakan identitas hukum pihak ketiga untuk menjalankan operasi teknologi digital berskala besar.
Alexander menekankan bahwa pembekuan ini merupakan tindakan pencegahan untuk menghindari potensi risiko terhadap masyarakat Indonesia. Pemerintah, menurutnya, harus sigap dalam menghadapi potensi ancaman dari teknologi yang tidak sepenuhnya patuh terhadap hukum dan regulasi nasional.
Peraturan yang Dilanggar dan Konsekuensinya
Penertiban terhadap Worldcoin dan WorldID ini mengacu pada ketentuan hukum yang telah berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Dalam peraturan tersebut, setiap entitas digital wajib mendaftarkan layanan mereka secara legal dan transparan, termasuk menyampaikan identitas badan hukum dan mekanisme perlindungan data pengguna secara terbuka. Ketidakpatuhan terhadap poin-poin tersebut bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga berpotensi membahayakan hak privasi pengguna.
“Penggunaan identitas hukum pihak lain serta tidak adanya pendaftaran resmi merupakan pelanggaran berat yang tidak dapat ditoleransi,” tegas Alexander.
Masalah Privasi: Data Iris Mata Disimpan di Blockchain
Salah satu aspek yang paling kontroversial dari Worldcoin adalah metode pengumpulan datanya. Meskipun pihak perusahaan mengklaim bahwa mereka tidak menyimpan data pribadi pengguna secara langsung, mereka tetap memindai dan menyimpan data biometrik berupa iris mata pengguna. Data tersebut kemudian disimpan dalam jaringan blockchain milik perusahaan.
Klaim Worldcoin yang menyebutkan bahwa data pengguna dijamin keamanannya, tidak cukup meyakinkan banyak negara. Fakta bahwa iris mata—yang merupakan data sangat sensitif—dijadikan sebagai dasar identifikasi digital telah memicu kekhawatiran besar di kalangan regulator global.
Worldcoin Disorot di Banyak Negara, Hanya Kenya yang Mengizinkan
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mulai mengawasi atau bahkan menindak Worldcoin. Sebelumnya, sejumlah negara lain seperti Prancis, Inggris, Korea Selatan, dan Chile juga telah membuka penyelidikan terhadap praktik Worldcoin.
Bahkan di Argentina, layanan ini dikenai denda sebesar 200 ribu dolar AS karena dianggap memberlakukan syarat dan ketentuan yang berlebihan dan merugikan pengguna. Ketatnya aturan perlindungan data di negara-negara tersebut membuat Worldcoin semakin sulit untuk beroperasi secara global.
Saat ini, hampir semua negara telah melarang peredaran Worldcoin. Kenya menjadi satu-satunya negara yang masih memperbolehkan penggunaan aset kripto tersebut, meskipun dengan pengawasan ketat.
Fenomena "Dapat Duit dari Bola Mata" Picu Kontroversi
Di Indonesia sendiri, popularitas Worldcoin sempat melonjak karena tawaran imbalan berupa aset kripto kepada siapa saja yang bersedia memindai iris mata mereka menggunakan alat yang disebut "orb". Fenomena ini sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial karena banyak warga yang tergiur dengan iming-iming "dapat uang cuma lewat bola mata".
Namun, imbalan tersebut kini dipertanyakan, mengingat ketidakjelasan penggunaan data biometrik dan potensi eksploitasi privasi pengguna di masa depan. Pemerintah pun bergerak cepat dengan menyetop operasional layanan sambil menunggu hasil klarifikasi dari pihak perusahaan yang terlibat.
Apa yang Harus Dilakukan Pengguna?
Bagi masyarakat yang sudah terlanjur mendaftar atau menyerahkan data biometrik mereka, penting untuk mulai memantau informasi resmi dari pemerintah dan tetap waspada. Jika benar data disimpan dalam sistem blockchain, maka kemungkinan besar data tersebut tidak dapat dihapus, yang berarti konsekuensi penggunaan jangka panjang masih belum jelas.
Konsumen digital diimbau untuk lebih selektif dalam memberikan data pribadi, apalagi untuk layanan yang belum memiliki izin resmi atau masih dalam proses investigasi. Dunia digital memang menawarkan kemudahan, tetapi juga membawa risiko yang perlu dikelola dengan hati-hati.
Dunia Digital Butuh Aturan Tegas dan Kepatuhan Nyata
Kasus Worldcoin menunjukkan bahwa teknologi canggih seperti identifikasi biometrik dan blockchain tidak bisa berjalan bebas tanpa pengawasan hukum. Regulasi yang kuat dan penegakan yang tegas dibutuhkan untuk memastikan bahwa inovasi digital tidak mengorbankan privasi dan keamanan publik.
Langkah tegas Komdigi dalam membekukan layanan ini merupakan sinyal kuat bahwa Indonesia serius dalam melindungi data warganya. Masyarakat pun harus lebih waspada terhadap segala bentuk layanan digital yang menjanjikan keuntungan instan, terutama jika belum terdaftar secara resmi di tanah air.