Sumber foto: iStock

AS Lacak Chip AI Buatan Sendiri: Ketakutan Terhadap China atau Strategi Bunuh Diri Teknologi?

Tanggal: 10 Mei 2025 06:45 wib.
Tampang.com | Amerika Serikat kembali memanaskan tensi perdagangan global, kali ini dengan langkah ekstrem dalam perang teknologinya melawan China. Dalam upaya yang semakin agresif, Washington bersiap meluncurkan kebijakan pelacakan canggih terhadap chip kecerdasan buatan (AI) buatan AS, seperti chip-chip mutakhir yang diproduksi oleh Nvidia. Tujuannya jelas: memastikan chip tersebut tidak berakhir di tangan China, negara yang selama ini menjadi fokus utama dalam pembatasan ekspor teknologi oleh AS.

Langkah ini tercermin dalam rancangan undang-undang baru yang tengah digodok oleh anggota parlemen dari Partai Demokrat, Bill Foster. Jika disahkan, regulasi ini akan mewajibkan perusahaan untuk terus memantau keberadaan chip AI bahkan setelah dijual ke pasar. Ini adalah gebrakan hukum pertama yang berani menyasar alur distribusi pasca-penjualan demi menghindari kebocoran teknologi sensitif ke negara yang dianggap sebagai rival utama ekonomi dan militer AS.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Meski sanksi dan pembatasan ekspor chip ke China telah diberlakukan sejak masa kepemimpinan Donald Trump dan diperkuat di era Joe Biden, laporan menunjukkan masih terjadi penyelundupan chip Nvidia dalam skala besar ke China. Menurut pakar, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan pasca-ekspor, meskipun chip-chip modern sebenarnya sudah dilengkapi dengan fitur pelacakan bawaan.

Ironisnya, Nvidia sendiri mengaku tidak memiliki kendali atas chip yang sudah berada di tangan konsumen. Pernyataan ini cukup kontras dengan pendapat para ahli teknologi yang menyebut bahwa teknologi pelacakan telah tertanam langsung dalam desain chip generasi terbaru. Ketidaksinkronan ini menjadi sorotan tajam, mengingat skala ancaman yang dianggap AS begitu besar jika chip tersebut jatuh ke tangan militer atau industri AI China.

Sebagai ilustrasi penting, China adalah pasar yang sangat vital bagi Nvidia. Dalam laporan keuangan terakhir yang berakhir pada 26 Januari lalu, pasar China menyumbang pendapatan sebesar US$17 miliar—sekitar 13% dari total pendapatan perusahaan. Jika tekanan dan pembatasan ekspor ini diperketat, Nvidia bisa kehilangan salah satu sumber pendapatan utamanya.

Menghadapi tantangan tersebut, Nvidia dilaporkan telah mengambil langkah antisipatif. Menurut sumber terpercaya yang dikutip oleh The Information, perusahaan ini sedang mengembangkan chip AI baru yang bisa dipasarkan ke China tanpa melanggar aturan ekspor dari pemerintah AS. Sejumlah klien utama di China—termasuk Alibaba, ByteDance (pemilik TikTok), dan Tencent—disebut telah diberi informasi lebih awal mengenai rencana ini.

Namun, strategi pelarangan total oleh AS ternyata tak selalu membuahkan hasil. Meski berbagai hambatan telah diterapkan selama bertahun-tahun, China berhasil tetap melangkah cepat dalam mengembangkan teknologi AI-nya sendiri. Salah satu buktinya adalah peluncuran DeepSeek, sistem AI canggih yang diduga dibangun menggunakan chip Nvidia yang semestinya diblokir.

Bill Foster mengungkapkan keprihatinan mendalam atas realitas ini. “Ini bukan ancaman masa depan yang hanya dalam bayangan. Ini sudah menjadi persoalan nyata hari ini. Bisa jadi, militer China sedang menggunakan chip-chip ini untuk membangun senjata canggih atau sistem AI tingkat lanjut,” ujarnya dalam wawancara dengan Reuters.

Namun, langkah keras AS ini juga membawa dampak negatif ke dalam negeri. Tanpa akses ke pasar China, perusahaan seperti Nvidia menghadapi tekanan ekonomi yang luar biasa. Ketergantungan pada pasar global membuat blokade yang ditujukan untuk menekan China justru berbalik menyerang balik Amerika sendiri. Sepanjang tahun 2025, saham Nvidia telah mencatatkan penurunan hampir 25%, memperlihatkan bagaimana tekanan geopolitik dapat memukul keras sektor teknologi di negara asalnya sendiri.

Di sisi lain, langkah-langkah blokade dari Barat malah menjadi pemicu percepatan kemandirian teknologi China. Dorongan untuk memutus ketergantungan pada teknologi luar justru mempercepat investasi dan riset dalam negeri, memperkuat posisi China dalam perlombaan global di bidang kecerdasan buatan dan semikonduktor.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah kebijakan pelacakan dan pembatasan chip AI ini benar-benar akan menguntungkan AS dalam jangka panjang? Ataukah ini justru menjadi strategi yang mempercepat kejatuhan dominasi teknologi Amerika di panggung internasional?

Jika pemerintah AS gagal menyeimbangkan antara keamanan nasional dan kebutuhan industri teknologi untuk tetap berkembang secara global, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan raksasa seperti Nvidia akan kehilangan posisi strategis mereka. Dunia teknologi saat ini bukan hanya tentang siapa yang memiliki chip tercanggih, tapi juga tentang siapa yang bisa menjualnya ke sebanyak mungkin pengguna di seluruh dunia.

Dengan begitu banyak taruhannya, perang teknologi antara AS dan China ini akan terus menjadi babak penting dalam dinamika global. Namun satu hal jelas—dalam konflik yang begitu kompleks ini, setiap kebijakan perlu dihitung dengan matang agar tidak menjadi pedang bermata dua bagi negaranya sendiri.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved