AS Ingin Lacak Chip AI Hingga ke Tangan China: Perang Teknologi atau Boomerang Ekonomi?
Tanggal: 7 Mei 2025 20:53 wib.
Tampang.com | Ketegangan teknologi antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, kali ini dengan langkah baru yang lebih agresif dari pihak Washington. Dalam perang dagang yang terus berlangsung, AS berniat memperketat pengawasan terhadap chip kecerdasan buatan (AI), termasuk yang diproduksi oleh perusahaan raksasa seperti Nvidia. Yang menarik, pelacakan ini tidak hanya dilakukan saat chip dijual, tetapi akan berlanjut bahkan setelah chip tersebut sampai ke tangan konsumen.
Langkah ini menjadi bagian dari rencana legislasi baru yang tengah digodok oleh Bill Foster, anggota parlemen AS dari Partai Demokrat. Foster tengah menyusun rancangan undang-undang (RUU) yang akan mewajibkan perusahaan untuk dapat melacak keberadaan chip AI buatan AS pasca penjualan. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mencegah chip-chip berteknologi tinggi tersebut berakhir di tangan China, negara yang selama bertahun-tahun menjadi target utama pembatasan ekspor AS.
Pemicu utama dari langkah ini adalah munculnya laporan penyelundupan chip Nvidia secara besar-besaran ke China. Padahal, sejak era pemerintahan Donald Trump hingga kini di bawah Joe Biden, AS telah menerapkan berbagai pembatasan ketat terhadap ekspor teknologi canggih ke Beijing.
Nvidia, sebagai salah satu produsen chip AI terkemuka, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk memantau keberadaan chip mereka setelah dijual ke konsumen. Namun, para ahli keamanan teknologi mengatakan sebaliknya—menyebut bahwa sebagian besar chip modern sudah dilengkapi dengan teknologi pelacakan yang tertanam secara internal.
Penting untuk dicatat bahwa China adalah pasar yang sangat signifikan bagi Nvidia. Dalam laporan keuangan yang berakhir pada 26 Januari 2025, perusahaan tersebut mencatat pendapatan sebesar US$17 miliar dari China, atau sekitar 13% dari total pendapatan globalnya. Dengan demikian, jika pembatasan ekspor diperketat lebih lanjut, Nvidia berisiko kehilangan salah satu pasar utamanya.
Untuk menyiasati pembatasan ekspor ini, laporan dari The Information mengungkapkan bahwa Nvidia telah memberitahu sejumlah klien utama mereka di China, seperti Alibaba Group, ByteDance (pemilik TikTok), dan Tencent Holdings. Mereka menyatakan bahwa Nvidia sedang mengembangkan chip AI baru yang dapat dipasarkan ke China tanpa melanggar peraturan ekspor AS. Strategi ini menunjukkan betapa pentingnya pasar China bagi kelangsungan bisnis Nvidia, bahkan di tengah tekanan geopolitik.
Namun, langkah keras Amerika justru mulai memperlihatkan efek sebaliknya. Meskipun China telah lama dibatasi dari mengakses teknologi chip canggih, negara tersebut tetap berhasil mengembangkan sistem AI tingkat tinggi seperti DeepSeek. Ironisnya, sistem tersebut diduga dibangun dengan menggunakan chip Nvidia yang sebenarnya telah dibatasi penjualannya ke China oleh pemerintah AS.
Anggota parlemen Bill Foster mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh Reuters pada Selasa (6/5/2025), Foster mengatakan bahwa ini bukan lagi sekadar ancaman masa depan. Ia mengingatkan bahwa Partai Komunis China atau bahkan militer Tiongkok mungkin sedang membangun sistem senjata atau AI canggih menggunakan chip-chip yang berhasil lolos dari pengawasan.
Namun di sisi lain, strategi Amerika justru menghadirkan risiko besar bagi perusahaan-perusahaan teknologinya sendiri. Blokade terhadap China ternyata tak menghentikan laju kemajuan teknologi negara tersebut. Sebaliknya, langkah ini malah mendorong Beijing untuk mempercepat program swasembada teknologinya.
Akibatnya, Nvidia kini menghadapi tantangan berat. Sejak awal tahun 2025, saham perusahaan tersebut telah anjlok hampir 25%, akibat tekanan yang terus meningkat dari kebijakan perdagangan luar negeri AS, khususnya yang diwariskan dari era Trump. Tanpa akses ke pasar besar seperti China, Nvidia bukan hanya kehilangan pendapatan dalam jumlah besar, tetapi juga kehilangan peluang untuk mempertahankan dominasi global di sektor chip AI.
Persaingan geopolitik ini menunjukkan bagaimana strategi isolasi bisa berubah menjadi bumerang. Meskipun dimaksudkan untuk menahan laju kemajuan teknologi China, kenyataannya Beijing semakin cepat dalam membangun industri teknologinya sendiri. Dari sisi AS, strategi ini berisiko besar menurunkan daya saing global perusahaan-perusahaan teknologi mereka.
Kini, dengan RUU pelacakan chip AI yang sedang dipertimbangkan, AS berada di persimpangan kebijakan penting. Di satu sisi, mereka berusaha melindungi keamanan nasional dan mencegah teknologi mutakhir jatuh ke tangan negara pesaing. Namun di sisi lain, tekanan berlebihan justru dapat menggerus pangsa pasar dan kekuatan finansial dari perusahaan-perusahaan teknologi terbesarnya.
Kesimpulannya, perang teknologi antara AS dan China semakin kompleks. Di balik langkah pelacakan chip AI dan pembatasan ekspor, tersimpan risiko besar bagi pelaku industri seperti Nvidia yang berada di tengah badai geopolitik. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, strategi yang dimaksudkan untuk membatasi musuh bisa saja menjadi bumerang yang melemahkan kekuatan sendiri.