Apple Ingin Pindah Produksi ke AS? Ini Alasan Mengejutkan Kenapa Rencana Itu Sulit Terwujud
Tanggal: 12 Apr 2025 13:59 wib.
Tampang.com | Upaya Amerika Serikat untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur dalam negeri kembali mencuat ke permukaan setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru. Langkah ini diyakini membuka peluang bagi raksasa teknologi seperti Apple untuk memproduksi perangkatnya langsung di tanah Amerika. Namun, di balik ambisi besar itu, ternyata tersimpan tantangan besar yang tidak bisa dianggap remeh.
Pemerintahan Trump menyatakan keyakinannya terhadap kemampuan dalam negeri untuk menopang produksi besar-besaran. Hal ini disampaikan langsung oleh Sekretaris Pers AS, Karoline Leavitt, yang mengatakan bahwa Presiden Trump optimis bahwa Amerika memiliki sumber daya dan tenaga kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi Apple.
“Presiden sangat percaya bahwa kita memiliki segalanya—tenaga kerja, infrastruktur, sumber daya. Semua ada untuk mendukung produksi Apple di sini,” ujar Leavitt, dikutip dari laporan Mac Rumors pada Jumat (11/4/2025).
Investasi Jumbo Apple: Keyakinan atau Strategi Bisnis?
Dalam pernyataan yang sama, Leavitt menyoroti investasi besar Apple di Amerika Serikat yang mencapai 500 miliar dolar AS. Menurutnya, angka fantastis ini menjadi bukti kepercayaan Apple terhadap kemampuan negara asalnya. “Kalau Apple tidak percaya pada potensi Amerika, mereka tak akan berinvestasi sebesar itu,” tambahnya.
Namun, meskipun investasi besar tersebut memberi kesan optimisme, realitanya Apple masih sangat bergantung pada jalur produksi di luar negeri, khususnya di China dan India. Ketergantungan ini bukan sekadar karena biaya produksi, tetapi karena rantai pasok dan ekosistem manufaktur yang lebih matang dan efisien di kawasan Asia.
Sekrup Kecil, Masalah Besar: Kasus Mac Pro di Texas
Salah satu contoh konkret yang menunjukkan rumitnya memindahkan produksi Apple ke AS adalah ketika perusahaan tersebut mencoba merakit Mac Pro di Austin, Texas, beberapa tahun lalu. Menurut laporan The New York Times pada 2019, kekurangan sekrup menjadi kendala utama yang menunda peluncuran produk tersebut selama berbulan-bulan.
Tiga sumber internal mengungkapkan bahwa produsen lokal hanya mampu memproduksi sekitar 1.000 sekrup per hari, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi Apple yang tinggi. Bandingkan dengan pabrik-pabrik di China, yang mampu memproduksi sekrup khusus dalam jumlah besar dalam waktu singkat, berkat keunggulan teknologi, keterampilan, dan kapasitas industri yang jauh lebih besar.
Masalah ini menjadi gambaran nyata betapa rumitnya ekosistem manufaktur Apple, di mana setiap bagian kecil seperti sekrup memiliki peran vital dan harus dipasok dengan presisi dan kecepatan tinggi. Produksi Apple bukan sekadar soal merakit komponen, tapi soal sinkronisasi logistik, tenaga kerja terampil, dan efisiensi operasional dalam skala besar—sesuatu yang masih sulit dicapai di Amerika.
China: Rumah Nyaman bagi Rantai Pasok Apple
Menurut The New York Times, keberhasilan Apple di China bukan semata-mata karena upah rendah, tapi karena China menawarkan segalanya dalam satu paket: skala besar, keterampilan tenaga kerja, infrastruktur kelas dunia, serta pemasok yang siap mendukung permintaan tinggi dalam waktu singkat.
Dengan kata lain, China telah menjadi "rumah produksi" ideal untuk Apple. Semua komponen, dari yang paling kecil seperti baut dan sekrup, hingga yang kompleks seperti chipset dan layar OLED, dapat dipenuhi oleh ekosistem industri China dengan sangat cepat dan efisien.
Ini yang membuat banyak pihak meragukan bahwa Amerika, dalam waktu dekat, bisa benar-benar menandingi efisiensi dan kesiapan China sebagai mitra produksi Apple. Meski kebijakan tarif dan insentif dari pemerintah AS terus didorong, membangun ulang ekosistem produksi berskala besar dari nol memerlukan waktu, biaya, dan kolaborasi lintas sektor yang tidak sedikit.
Apakah Produksi Apple Bisa Benar-Benar Pulang Kampung?
Meskipun secara politik dan strategis banyak pihak mendorong Apple untuk membawa produksinya kembali ke Amerika Serikat, kenyataannya jauh lebih kompleks. Dari sisi logistik hingga ketersediaan bahan baku dan suku cadang, AS masih tertinggal jauh dari China.
Apple bukan perusahaan yang mengambil keputusan sembarangan. Mereka dikenal sangat fokus pada efisiensi dan kontrol mutu. Jika ekosistem produksi di suatu negara tidak mendukung standar tinggi mereka, maka pindah lokasi produksi bukanlah solusi—melainkan risiko besar.
Dengan semua pertimbangan ini, bisakah kita berharap Apple benar-benar akan memindahkan pabrik-pabriknya ke AS dalam waktu dekat? Jawabannya tampaknya belum. Bukan karena kurang nasionalisme, tetapi karena realitas bisnis dan tantangan logistik yang sangat rumit.
Ke depan, jika Amerika ingin menjadi pusat manufaktur teknologi lagi, perlu investasi besar-besaran dalam infrastruktur, pelatihan tenaga kerja, dan pembangunan ekosistem rantai pasok lokal. Sampai saat itu tiba, China masih menjadi pilihan paling logis dan efisien bagi perusahaan sekelas Apple.