Apple di Ujung Tanduk? Ketika Perang Dagang dan Strategi Buyback Memicu Krisis dalam Diam
Tanggal: 5 Mei 2025 20:40 wib.
Saham Apple kembali terguncang. Pada Jumat, 2 Mei 2025 lalu, harga saham perusahaan teknologi raksasa asal Cupertino itu merosot hingga 5% hanya dalam sehari. Penyebab utama penurunan ini bukan hanya karena tekanan eksternal, tetapi juga keputusan internal Apple sendiri—yakni pemangkasan besar-besaran terhadap program pembelian kembali saham (buyback), yang selama ini menjadi andalan untuk menjaga kepercayaan investor.
Seakan belum cukup, CEO Apple Tim Cook secara terbuka mengakui bahwa perusahaan kini harus menanggung beban tambahan sekitar US$900 juta, sebagai dampak langsung dari eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Kebijakan Trump Masih Menyisakan Luka di 2025
Perang dagang AS-China yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal era Donald Trump tampaknya masih menyisakan luka mendalam bagi Apple. Sepanjang tahun 2025 saja, nilai saham Apple telah turun lebih dari 38%, menjadikannya salah satu penurunan paling tajam dalam sejarah perusahaan tersebut.
Apple selama ini sangat bergantung pada China sebagai pusat produksi utama. Sekitar 90% dari rantai pasok Apple beroperasi di wilayah China, membuat perusahaan ini sangat rentan terhadap gejolak kebijakan ekonomi antara dua negara adidaya itu.
Selain tekanan tarif impor, Apple juga harus menghadapi persaingan ketat dari para produsen smartphone lokal asal China. Kondisi ini terbukti lewat data yang dirilis IDC, yang menyebutkan bahwa pada kuartal pertama 2025, penjualan iPhone di China mengalami penurunan tajam sebesar 9% secara tahunan.
Strategi Lama Sudah Tak Mujarab
Apple sempat mencoba solusi sementara untuk menghindari lonjakan tarif, seperti menimbun stok iPhone sebelum kebijakan baru diberlakukan. Namun, upaya itu hanya memberikan nafas pendek. Saat ini, tekanan ekonomi global dan perlambatan daya beli konsumen AS ikut menambah tantangan baru yang harus dihadapi.
Sinyal kuat bahwa Apple tengah menghadapi masa sulit juga terlihat dari keputusan perusahaan untuk mengurangi program buyback saham hingga US$10 miliar. Biasanya, Apple dikenal sebagai perusahaan yang agresif dalam mempertahankan bahkan meningkatkan buyback, sebagai cara memperkuat nilai saham di pasar.
Namun tahun ini berbeda. Apple hanya mengalokasikan US$100 miliar untuk buyback, lebih rendah dari US$110 miliar tahun sebelumnya. Menurut analis dari CFRA Research, Angelo Zino, langkah ini mengejutkan banyak pihak karena sangat tidak lazim dari pola historis Apple.
"Secara tradisional, Apple tidak pernah menurunkan buyback. Ini bisa jadi pertanda bahwa mereka tengah mengamankan likuiditas menghadapi ketidakpastian ekonomi," ungkap Zino kepada Reuters, Senin (5/5/2025).
Apple Mulai Tinggalkan China, Beralih ke India dan Amerika
Dalam panggilan dengan para analis, Tim Cook menekankan perubahan besar dalam strategi manufaktur Apple. Cook menyebut bahwa sebagian besar iPhone yang dijual di Amerika pada kuartal ini sudah mulai diproduksi di luar China, sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap negara tersebut.
India menjadi pilihan utama. Apple mulai memindahkan sebagian besar rantai pasokannya ke India, yang dianggap lebih stabil dan strategis dalam jangka panjang. Di saat yang sama, Apple juga berencana meningkatkan produksi komponen penting seperti chip di dalam negeri, termasuk Texas, Arizona, dan Oregon.
Langkah diversifikasi ini dianggap penting untuk mengurangi risiko geopolitik. Cook bahkan secara blak-blakan menyebut bahwa mengandalkan satu lokasi produksi, seperti China, merupakan keputusan yang sangat berisiko dalam jangka panjang.
“Membangun semua produksi di satu tempat sangat rentan. Itulah sebabnya kami melihat India sebagai masa depan dalam rantai pasok global Apple,” tegasnya.
Joey Tigay, manajer portofolio di Catalyst Funds, salah satu pemegang saham Apple, mengungkapkan bahwa langkah ini merupakan bagian dari visi jangka panjang Apple untuk menciptakan supply chain yang lebih tahan terhadap guncangan eksternal.
Tantangan Berat di Depan Mata
Meski pemindahan produksi dan diversifikasi lokasi menjadi strategi adaptif yang wajar, biaya implementasinya sangat besar. Tak hanya itu, pergeseran ini juga tidak serta merta menjamin kestabilan dalam waktu dekat. Apple harus menghadapi tantangan operasional, logistik, dan penyesuaian kualitas yang akan membutuhkan waktu dan sumber daya besar.
Dengan penurunan penjualan di China, tekanan ekonomi domestik di AS, biaya tinggi relokasi produksi, hingga berkurangnya daya beli konsumen global, Apple tampaknya berada di persimpangan jalan.
Apakah Apple mampu keluar dari tekanan multi-arah ini? Ataukah ini pertanda awal dari transformasi besar—atau bahkan krisis eksistensial—yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya?
Satu hal yang pasti, keputusan dan langkah strategis Apple dalam beberapa bulan ke depan akan sangat menentukan nasib jangka panjang perusahaan yang dulu dianggap tak tergoyahkan ini.