Anak Muda Makin Cemas Sosial, Apakah Media Sosial Biang Keladinya?
Tanggal: 8 Mei 2025 12:13 wib.
Tampang.com | Dunia maya seharusnya membuka ruang koneksi tanpa batas. Tapi realitanya, generasi muda kini justru lebih sulit bersosialisasi di dunia nyata. Riset terbaru menyebutkan lonjakan kasus kecemasan sosial (social anxiety disorder) di kalangan remaja dan mahasiswa, dengan media sosial sebagai salah satu faktor pemicu utama.
Lonjakan Kecemasan Sosial di Kalangan Muda
Menurut data PDSKJI tahun 2025, terjadi peningkatan 35% kasus kecemasan sosial pada usia 15–24 tahun dibanding dua tahun lalu. Keluhan paling umum: takut berbicara di depan umum, gelisah saat bertemu orang baru, hingga menghindari interaksi sosial secara langsung.
“Saya bisa aktif di Instagram, tapi kalau disuruh bicara langsung dengan orang, tangan saya gemetar,” ujar Rizal, mahasiswa semester 3.
Media Sosial dan Budaya Perbandingan
Psikolog klinis dari Universitas Airlangga, Dr. Lilis Wicaksono, menyatakan bahwa media sosial membentuk false reality yang menekan generasi muda. “Mereka membandingkan diri dengan kehidupan sempurna yang tampil di layar, lalu merasa tidak cukup baik,” katanya.
Tekanan untuk selalu tampil menarik, sukses, dan ‘update’ telah mengikis kepercayaan diri anak muda di ruang nyata.
Digital Tapi Tidak Sosial
Rendahnya frekuensi komunikasi tatap muka dan lebih dominannya interaksi lewat layar juga dinilai turut merusak kemampuan sosial. Banyak remaja mengaku canggung berbicara langsung karena terlalu terbiasa mengandalkan emoji dan teks.
Survei internal Kemenkes tahun 2024 mencatat 4 dari 10 remaja lebih nyaman menyampaikan pendapat lewat story atau chat daripada bertemu langsung.
Stigma Masih Jadi Hambatan
Sayangnya, gangguan kecemasan sosial masih dianggap remeh. Banyak yang mengira ini hanya masalah malu atau kurang percaya diri biasa, bukan sebagai gangguan psikologis yang butuh penanganan.
Upaya Perlu Dimulai dari Sekolah dan Rumah
Perlu adanya pendekatan edukatif di sekolah dan rumah untuk mengenali gejala kecemasan sosial sejak dini. Pelatihan empati, literasi digital, dan keberanian berbicara di ruang publik menjadi bagian penting yang harus masuk dalam kurikulum pendidikan karakter.
Refleksi: Dunia Maya Harusnya Membebaskan, Bukan Menekan
Media sosial bisa menjadi alat ekspresi dan koneksi—bukan penjara psikologis. Tapi untuk itu, generasi muda perlu dibekali kemampuan sosial yang nyata, bukan hanya digital.