Amerika Bersiap Tutup Pintu Permanen untuk AI Buatan China: Ancaman Nyata atau Strategi Perlindungan?
Tanggal: 30 Jun 2025 10:04 wib.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah mempersiapkan sebuah langkah besar yang akan berdampak luas pada sektor teknologi dan geopolitik global. Dalam rangka memperkuat keamanan nasional, negara adidaya tersebut berencana memberlakukan larangan permanen terhadap penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) buatan asing, terutama yang berasal dari negara-negara yang dianggap sebagai lawan strategis seperti China, Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Rencana ini tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) bernama No Adversarial AI Act, yang saat ini tengah digodok di Kongres AS. Inisiatif ini datang dari koalisi bipartisan, yakni gabungan anggota parlemen dari dua partai besar di Amerika—Partai Republik dan Partai Demokrat. Dua nama yang menjadi pengusung utama adalah John Moolenaar dari Partai Republik dan Raja Krishnamoorthi dari Partai Demokrat.
Langkah ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap situasi teknologi global yang berkembang pesat, tetapi juga merupakan bentuk antisipasi atas meningkatnya pengaruh teknologi AI asing yang berpotensi membahayakan jaringan pemerintah AS.
Tujuan RUU: Pertahanan Digital Nasional
Dalam pernyataannya, Moolenaar menegaskan bahwa Amerika Serikat harus memiliki batas yang jelas dalam penggunaan teknologi dari negara musuh. Menurutnya, sistem AI yang dikembangkan oleh pihak yang berpotensi bermusuhan tidak boleh memiliki akses, apalagi digunakan, dalam sistem atau jaringan pemerintahan AS.
“RUU ini adalah bentuk benteng digital permanen yang dirancang untuk mencegah sistem AI asing—khususnya yang dianggap berbahaya—masuk ke dalam infrastruktur sensitif kita. Risiko kebocoran data dan kompromi informasi terlalu besar untuk diabaikan,” ujar Moolenaar, seperti dikutip dari Reuters pada Kamis, 26 Juni 2025.
RUU ini mengharuskan Federal Acquisition Security Council (FASC), sebuah lembaga pengadaan federal di AS, untuk menyusun serta memperbarui daftar sistem AI yang dilarang karena berasal dari negara-negara musuh. Penggunaan sistem AI dalam daftar tersebut akan dilarang di seluruh lembaga eksekutif pemerintah, kecuali terdapat izin khusus dari Kongres atau Office of Management and Budget (OMB) untuk kepentingan riset tertentu.
DeepSeek: Pusat Sorotan dalam Ketegangan AS-China
Ketegangan antara AS dan China dalam sektor teknologi bukanlah hal baru. Namun, perhatian khusus belakangan ini tertuju pada DeepSeek, salah satu perusahaan AI asal China yang dilaporkan memiliki hubungan erat dengan militer dan badan intelijen negara tersebut.
Menurut laporan dari Reuters, DeepSeek bahkan sempat mendapatkan akses ke chip buatan Nvidia, yang merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan AI canggih. Penggunaan chip ini memungkinkan DeepSeek untuk membangun model AI yang disebut-sebut bisa menyaingi ChatGPT milik OpenAI, namun dengan efisiensi biaya yang jauh lebih rendah.
Klaim tersebut mengejutkan dunia teknologi global, dan sejak itu, DeepSeek mulai dilarang penggunaannya di berbagai lembaga dan perusahaan di AS. Larangan ini diberlakukan bukan hanya karena kekhawatiran akan keamanan data, tetapi juga karena potensi penyalahgunaan sistem AI dalam operasi militer dan intelijen asing.
Mengapa AI Asing Dipandang sebagai Ancaman?
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi AI, negara-negara besar seperti AS, China, dan Rusia kini saling berlomba dalam penguasaan teknologi pemrosesan data cerdas yang dapat digunakan di berbagai bidang—mulai dari militer, ekonomi, hingga pengawasan sosial. Namun, seiring dengan kemajuan ini, muncul pula kekhawatiran serius tentang bagaimana teknologi tersebut bisa disalahgunakan.
AI memiliki kapabilitas luar biasa dalam mengolah data dalam jumlah besar, melakukan prediksi, serta menganalisis perilaku pengguna. Jika digunakan secara tidak bertanggung jawab, AI bisa menjadi alat untuk pengawasan massal, penargetan siber, bahkan disinformasi terstruktur.
Inilah mengapa AS melihat perlunya menutup celah yang memungkinkan AI buatan negara-negara musuh masuk ke dalam sistem pemerintahan mereka yang sangat sensitif. Jika sistem AI semacam itu disusupi malware atau pintu belakang (backdoor), maka konsekuensinya bisa sangat fatal—terutama bagi keamanan nasional dan rahasia negara.
Reaksi dan Dampaknya terhadap Dunia Teknologi Global
Rencana pelarangan ini kemungkinan besar akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap hubungan dagang dan teknologi internasional. Jika disahkan, RUU No Adversarial AI Act akan menjadi sinyal kuat bagi negara-negara lain untuk menilai kembali ketergantungan mereka terhadap AI asing.
Banyak negara yang kini mulai mengembangkan AI berdaulat, yakni sistem kecerdasan buatan yang dikembangkan secara lokal untuk menghindari ketergantungan pada teknologi dari negara lain. Langkah AS ini kemungkinan akan mendorong negara lain untuk mempercepat strategi semacam itu.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar seperti OpenAI, Google, dan Microsoft juga mungkin akan semakin aktif dalam menjalin kemitraan dengan pemerintah, demi memastikan bahwa teknologi buatan mereka tidak hanya aman, tetapi juga mendukung kepentingan strategis nasional.
Kesimpulan
RUU No Adversarial AI Act menjadi tonggak penting dalam pertarungan geopolitik berbasis teknologi. Amerika Serikat secara tegas berupaya mengamankan kedaulatan digitalnya dengan melarang penggunaan sistem AI dari negara-negara yang dianggap musuh. Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang pengaruh, kedaulatan, dan keamanan nasional.
Di masa depan, AI akan semakin menjadi bagian dari infrastruktur vital suatu negara. Oleh karena itu, siapa yang mengendalikan teknologi, berarti mengendalikan masa depan. Dalam konteks ini, Amerika Serikat tampaknya tidak ingin mengambil risiko sedikit pun.